Tampilkan postingan dengan label referensi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label referensi. Tampilkan semua postingan

Selasa, 17 Mei 2016

CONTOH MAKALAH KARAKTERISTIK PESERTA DIDIK ASPEK SOSIAL

PEMBAHASAN
  1. Pendahuluan
Masing-masing peserta didik atau siswa sebagai individu dan subjek belajar memiliki karakteristik atau ciri-ciri sendiri. Kondisi atau keadaan yang terdapat pada masing-masing siswa dapat mempengaruhi bagaimana proses belajar siswa tersebut. Dengan kondisi peserta yang mendukung maka pembelajaran tentu dapat dilakukan dengan lebih baik, sebaliknya pula dengan karakteristik yang lemah maka dapat menjadi hambatan dalam proses belajar mengajar.
Dalam bukunya, Sardiman (2011: 120) menyebutkan bahwa terdapat 3 macam hal karakteristik atau keadaan yang ada pada siswa yang perlu diperhatikan guru yaitu:
1)      Karakteristik atau keadaan yang berkenaan dengan kemampuan awal siswa. Misalnya adalah kemampuan intelektual, kemampuan berpikir, dan lain-lain.
2)      Karakteristik atau keadaan siswa yang berkenaan dengan latar belakang dan sosial.
3)      Karakteristik atau keadaan siswa yang berkenaan dengan perbedaan-perbedaan kepribadian seperti sikap, perasaan, minat, dan lain-lain.
Makalah ini akan membahas mengenai karakteristik peserta didik sekolah dasar maupun remaja dalam aspek sosial.

  1. Karakteristik Peserta Didik pada Masa Anak Sekolah (6-12 tahun)
Banyak ahli menganggap masa ini sebagai masa tenang atau masa latent. Di mana apa yang telah terjadi dan dipupuk pada masa-masa sebelumnya akan berlangsung terus untuk masa-masa selanjutnya. Tahap usia ini disebut juga sebagai usia kelompok (gang age), di mana anak mulai mengalihkan perhatian dan hubungan intim dalam keluarga ke kerjasama antar teman dan sikap-sikap terhadap kerja atau belajar.
Dengan memasuki SD, salah satu hal penting yang perlu dimiliki anak adalah kematangan sekolah, tidak saja meliputi kecerdasan dan keterampilan motoric, bahasa, tetapi juga hal lain seperti dapat menerima otoritas tokoh lain di luar orangtuanya, kesadaran akan tugas, patuh pada peraturan, dan dapat mengendalikan emosi-emosinya.
Pada masa anak sekolah ini, anak-anak membandingkan dirinya dengan teman-temannya di mana ia mudah sekali dihinggapi ketakutan akan kegagalan dan ejekan teman,. Bila pada masa ini ia sering gagal dan merasa cemas, akan tumbuh rasa rendah diri, sebaliknya bila ia tahu tentang bagaimana dan apa yang perlu dikerjakan dalam menghadapi tuntutan masyarakatnya, dan ia berhasil mengatasi masalah dalam hubungan teman, dan prestasi sekolahnya, akan timbul motivas yang tinggi terhadap karya dengan lain perkataan terpupuklah “industry”.
Dengan memasuki dunia sekolah dan masyarakat, anak-anak dihadapkan pada tuntutan social yang baru, yang menyebbkan timbulnya harapan-harapan atas diri sendiri (self-expectation) dan aspirasi-aspirasi baru, engan lain perkataan akan muncul lebih banyak tuntutan dari lingkungan maupun dari dalam anak sendiri yang kesemuanya ingin dipenuhi. Beberapa keterampilan yang perlu dimiliki anak pada fase ini meliputi antara lain :
a.       Keterampilan menolong diri sendiri (self-help skills) : misalnya dalam hal mandi, berdandan, makan, sudah jarang tau bahkan tidak perlu ditolong lagi.
b.      Keterampilan bantuan social (social-help skill) : anak mampu membantu dalam tugas-tugas rumah tangga seperti menyapu, membersihkan rumah, mencuci dan sebagainya. Partisipasi mereka akan memupuk perasaan diri berguna dan sikap kerjasama.
c.       Keterampilan sekolah (school-skills) : meliputi penguasaan dalam hal akademik dan non akademik (misalnya menulis, mengarang, matematika, melukis, menyanyi, prakarya, dan sebagainya).
d.      Keterampilan bermain (play skills) : meliputi keterampilan dalam berbagai jenis permainan seperti antara lain main bola, mengendarai sepeda, sepatu roda, catur, bulu tangkis, dan sebagainya.
Di dalam segi emosinya, nampak pada usia ini, anak mulai belajar mengendalikan reaksi emosinya dengan berbagai cara atau tindakan yang dapat diterima lingkungannya (misalnya sekarang ia tidak lagi menjerit-jerit dan berguling-gulingan kalu keinginannya tidak dipenuhi karena reaksi semacam ini dianggap seperti “anak kecil”). Memang masih sering terjadi bahwa di rumah anak-anak usia ini kurang besar motivasinya untuk mengendalikan emosinya dibandingkan dengan control emosi yang dilakukannya di luar rumah (di antara teman atau di sekolah).
Pada masa akhir sekolah, karena tujuan utama adalah diakui sebagai anggota dari suatu kelompok, maka biasanya anak-anak cenderung lebih senang memilih aturan-aturan yang ditetapkan kelompoknya daripada apa-apa yang diatur oleh orangtuanya (misalnya dalam cara berpakaian, berbicara, bertingkah laku, dan sebagainya).
Melalui pengasuhan di rumah, dan pergaulan sosial dan sehari-hari anak belajar  bagaimana berinteraksi dengan orang lain, bagaimana ia menemukan identitas diri dan peran jenis kelaminnya, bagaimana meltih otonomi, sikap mandiri dan berinisiatif, bagaimana belajar mengatasi kecemasan dan konflik  secara tepat, bagaimana mengembangkan moral dan kata hati yang benar-benar serasi. (Gunarsa Yulia, Gunarsa Singgih : 2008)

  1. Karakteristik Peserta Didik pada Masa Remaja
Salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam hubungan yang sebelumnya belum pernah ada dan harus menyesuaikan dengan orang dewasa di luar lingkungan keluarga dan sekolah.
Untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi dewasa, remaja harus membuat banyak penyesuaian baru. Yang terpenting dan tersulit adalah penyesuaian diri dengan meningkatkan pengaruh kelompok sebaya, perubahan dalam perilaku sosial, pengelompokan sosial yang baru, nilai-nilai baru dalam seleksi persahabatan, nilai-nilai baru dalam dukungan dan penolakan sosial, dan nilai-nilai baru dalam seleksi pemimpin.
Kuatnya Pengaruh Kelompok Sebaya
Karena remaja lain banyak berada di luar rumah bersama dengan teman-teman sebaya sebagai kelompok, maka dapatlah dimengerti bahwa pengaruh teman-teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan, dan perilaku lebih besar daripada pengaruh keluarga. Misalnya, sebagian besar remaja mengetahui bahwa bila mereka memakai model pakaian yang sama dengan pakaian anggota kelompok yang populer, maka kesempatan baginya untuk diterima oleh kelompok menjadi lebih besar. Demikian pula bila anggota kelompok mencoba minum alcohol, obat-obat terlarang atau rokok, maka remaja cenderung mengikutinya tanpa memperdulikan perasaan mereka sendiri akibatnya. Bertambah tua maka jenis teman menjadi lebih penting daripada jumlah.
Karena remaja mengerti apa yang diharapkan dari teman-teman, maka remaja bersikeras untuk memilih sendiri teman-temannya tanpa campur tangan orang dewasa. Seringkali hal ini menimbulkan dua akibat yang mengganggu stabilitas persahabatan remaja. Pertama, karena kurangnya pengalaman terutama dengan lawan jenis remaja memilih teman-teman yang kurang sesuai, tidak seperti yang diharpkan, pertengkaran sering terjadi dan kemudian persahabatan mereka bubar.
Kedua, seperti halnya dalam bidang-bidang kehidupan lainnya, remaja cenderung tidak realistic dengan standar yang ia tetapkan untuk teman-temannya. Ia menjadi kritis bila teman-teman tidak memenuhi standan dan kemudian berusaha memperbaiki teman-temannya. Biasanya hal ini juga menyebabkan pertengkaran dan mengakhiri persahabatan. Lambat laun remaja menjadi lebih realistic akan orang-orang lain dan juga akan diri sendiri. Dengan demikian, ia tidak sekritis sebelumnya dan lebih menerima teman-temannya.
Nilai Baru dalam Penerimaan Sosial
Seperti halnya adanya nilai baru mengenai teman-temannya, remaja juga mempunyai nilai baru dalam menerima atau tidak menerima anggota-anggota berbagai kelompok sebaya seperti klik, kelompok besar atau geng. Nilai ini terutama didasarkan pada nilai kelompok sebaya yang digunakan untuk menilai anggota-anggota kelompok. Remaja segera mengerti bahwa ia dinilai dengan standar yang sama dengan yang digunakan untuk menilai orang lain.
Tidak ada satu sifat atau pola perilaku khas yang akan menjamin penerimaan sosial selama masa remaja. Penerimaan bergantung pada sekumpulan sifat dan pola perilaku yaitu sindroma penerimaan yang disenangi remaja dan dapat menambah gensi dari klik atau kelompok besar yang diidentifikasi.
Demikian pula, tidak ada satu sifat atau pola perilaku yang menjauhkan remaja dari teman-teman sebayanya. Namun ada pengelompokan sifat sindroma alienasi yang membuat orang lain tidak menyukai atau menolaknya.
Minat Sosial
Minat yang bersifat sosial bergantung pada kesempatan yang diperoleh remaja untuk mengembangkan minat tersebut dan pada kepopulerannya dalam kelompok. Seorang remaja yang status sosioekonomis keluarganya rendah, misalnya, mempunyai sedikit kesempatan untuk mengembangkan minat pada pesta-pesta dan dansa dibandingkan dengan remaja yang latar belakang keluarga yang lebih baik. Begitu pula, remaja yang tidak populer akan mempunyai minat sosial yang terbatas.
Minat-minat Sosial yang Umum Pada Remaja
1.      Pesta
Minat terhadap pesta dengan teman-teman lawan jenis pertama kali tampak sekitar usia tiga belas atau empat belas tahun. Sepanjang masa remaja anak perempuan lebih menyukai pesta daripada anak laki-laki.
2.      Minum-minuman Keras
Minuman keras pada saat berkencan atau pesta semakin bertambah popular selama masa remaja, remaja perempuan bersama teman-teman sejenis jarang minum-minuman keras dibandingkan dengan remaja laki-laki.
3.      Obat-obatan terlarang
Meskipun tidak bersifat universal, penggunaan obat-obat terlarang merupakan kegiatan klik dan kegiatan pesta yang populer, yang dimulai pada awal masa remaja. Banyak remaja mencoba obat-obatan ini karena “ harus dicoba,” meskipun beberapa kemudian menjadi kecanduan.
4.      Percakapan
Setiap remaja memperoleh rasa aman bila berada diantara teman-teman dan membicarakan hal-hal yang menarik atau yang mengganggunya, pertemuan-pertemuan seperti ini merupakan kesempatan untuk mengeluarkan isi hati dan memperoleh pandangan baru terhadap masalah yang dihadapi.
5.      Menolong orang lain
Banyak kaula muda sangat berminat untuk menolong mereka yang merasa dirinya tidak mengerti, diperlakukan kurang baik atau yang merasa tertekan. Lama kelamaan minat ini berkurang karena 2 hal. Pertama, remaja mulai merasa bahwa tidak ada yang dapat mereka lakukan untuk memperbaiki kekeliruan-kekeliruan ini, dan kedua, mereka merasa bahwa usaha-usaha mereka seringkali tidak dihargai.
6.      Peristiwa Dunia
Melalui pelajaran-pelajaran di sekolah dan media masa, remaja seringkali mengembangkan minat terhadap pemerintahan, politik dan peristiwa-peristiwa dunia. Minat ini diungkapkan terutama melalui bacaan dan pembicaraan-pembicaraan dengan teman-teman, guru-guru, dan orang tua.
7.      Kritik dan Pembaruan
Hampir semua kaula muda, terutama remaja perempuan, menjadi kritis dan berusaha memperbaiki orang tua, teman-teman, sekolah dan masyarakat. Kritik-kritik mereka biasanya bersifat merusak, bukan kritik membangun, dan usul-usul untuk memperbaiki biasanya tidak praktis. (Hurlock : 1980)

  1. Kesimpulan
·         Perkembangan sosial adalah perkembangannya tingkat hubungan antar manusia sehubungan dengan meningkatnya kebutuhan hidup manusia. 
·         Perhatian remaja mulai tertuju  pada pergaulan didalam masyarakat dan mereka membutuhkan pemahaman tentang norma kehidupan yang kompleks. Pergaulan remaja banyak diwujudkan dalam bentuk kehidupan kelompok terutama kelompok sebaya.
·         Perkembangan sosial remaja dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : kondisi keluarga, kematangan anak, status social ekonomi keluarga, pendidikan, dan kapasitas mental terutama intelek dan emosi. 
·         Perkembangan intelektual anak sangat tergantung pada berbagai faktor utama, antara lain kesehatan jasmani, pergaulan dan pembinaan orang tua. Kemampuan mengontrol emosi diperoleh anak melalui peniruan dan latihan (pembiasaan).  



REFERENSI
Gunarsa & Gunarsa Singgih. 2008. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: Gunung Mulia.
Hurlock, Elizabeth B . 1980. Psikologi Perkembangan. Erlangga. Jakarta
Kurnia, inggrid dkk. 2007. Perkembangan Belajar Peserta Didik. Tidak diterbitkan.
Muhibbinsyah. 2010. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Sardiman. 2011. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Press
Sunarto & Hartono. 1995. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta:  Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

https://guruipskudu.wordpress.com/2013/05/12/karakteristik-peserta-didik-kd-1-1-indikator-1-1-1/

Minggu, 23 November 2014

CONTOH MAKALAH MATERI BK BIMBINGAN DAN KONSELING

BY : GRACE AUDINA

BAB 2
ISI
2.1 Sejarah Bimbingan dan Konseling
Menengok sejarah perkembangannya, bimbingan konseling berawal di Amerika Serikat yang dipelopori oleh seorang tokoh besar yaitu Frank Parson melalui gerakan yang terkenal yaitu guidance movement (gerakan bimbingan). Awal kelahiran gerakan ini dimaksudkan sebagai upaya mengatasi semakin banyaknya veteran perang yang tidak memiliki peran. Oleh karena itu, Frank Person berupaya memberi bimbingan vocational sehingga veteran-veteran tersebut tetap dapat berkarya sesuai kondisi mereka. Selanjutnya, gerakan ini berkembang tidak semata pada bimbingan vocational, tapi meluas pada bidang-bidang lain yang akhirnya masuk pula dalam pendidikan formal.
Gerakan bimbingan lahir pada tanggal 13 Januari 1908 di Amerika, dengan didirikannya suatu vocational bureau tahun 1908 oleh Frank Parsons yang utuk selanjutnya dikenal sebagai “Father of The Guedance Movement in American Education” yang menekankan pentingnya setiap individu diberikan pertolongan agar mereka dapat mengenal atau memahami berbagai perbuatan dan kelemahan yang ada pada  dirinya dengan tujuan agar dapat dipergunakan secara intelijensi dengan memilih pekerjaan yang terbaik yang tepat bagi dirinya.

Menurut Arthur E. Trax and Robert D North, dalam bukunya yang berjudul “Techniques of Guidance”, (1986), disebutkan beberapa kejadian penting yang mewarnai sejarah bimbingan diantaranya:

1.     Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Timbul suatu gerakan kemanusiaan yang menitik beratkan pada kesejahteraan manusia dan kondisi sosialnya. Gerakan ini membantu vocational bureau Parsons dalam bidang keungan agar dapat menolong anak-anak muda yang tidak dapat bekerja dengan baik.
2.     Agama
Pada rohaniwan berpandangan bahwa dunia adalah dimana ada pertentangan yang secara terus menerus antara baik dan buruk.
3.     Aliran kesehatan mental
Timbul dengan tujuan perlakuan yang manusiawi terhadap penderita penyakit jiwa dan perhatian terhadap berbagai gejala, tingkat penyakit jiwa, pengobatan, dan pencegahannya, karena ada suatu kesadaran bahwa penyakit ini bisa diobati apabila ditemukan pada tingkat yang lebih dini. Gerakan ini mendorong para pendidik untuk lebih peka terhadap masalah-masalah gangguan kejiwaan, rasa tidak aman, dan kehilangan identitas diantara anak-anak muda.
4.     Perubahan dalam masyarakat
Akibat dari perang dunia 1 dan 2, pengangguran, depresi, perkembangan IPTEK, wajib belajar, mendorong beribu-ribu anak untuk masuk sekolah tanpa mengetahui untuk apa mereka bersekolah. Perubahan masyarakat semacam ini mendorong para pendidik untuk memperbaiki setiap anak sesuai dengan kebutuhannya agar mereka dapat menyelesaikan pendidikannya dengan berhasil.
5.     Gerakan mengenal siswa sebagai individu
Gerakan ini erat sekali kaitannya dengan gerakan tes pengukuran. Bimbingan diadakan di sekolah disebabkan tugas sekolah untuk mengenal atau memahami siswa-siswanya secara individual. Karena sulitnya untuk mengenal atau memahami siswa secara individual atau pribadi, maka diciptakanlah berbagai teknik dan instrument diantaranya tes psikologis dan pengukuran.

Sampai awal abad ke-20 belum ada konselor disekolah. Pada saat itu pekerjaan-pekerjaan konselor masih ditangani oleh para guru. Gerakan bimbingan disekolah mulai berkembang sebagai dampak dari revolusi industri dan keragaman latar belakang para siswa yang masuk kesekolah-sekolah negeri.
Tahun 1898 Jesse B. Davis, seorang konselor di Detroit mulai memberikan layanan konseling pendidikan dan pekerjaan di SMA. Pada tahun 1907 dia memasukkan program bimbingan di sekolah tersebut. Pada waktu yang sama para ahli yang juga mengembangkan program bimbingan ini diantaranya; Eli Weaper, Frank Parson, E.G Will Amson, Carlr. Rogers.
Bahkan, Eli Weaper pada tahun 1906 menerbitkan buku tentang “memilih suatu karir” dan membentuk komite guru pembimbing disetiap sekolah menengah di New York. Kamite tersebut bergerak untuk membantu para pemuda dalam menemukan kemampuan-kemampuan dan belajar tentang bimbingan menggunakan kemampuan-kemampuan tersebut dalam rangka menjadi seorang pekerja yang produktif.

Bradley (John J.Pie Trafesa et. al., 1980) menambah satu tahapan dari tiga tahapan tentang sejarah bimbingan menurut Stiller, yaitu sebagai berikut:
·       Vocational exploration : Tahapan yang menekankan tentang analisis individual dan pasaran kerja.
·       Metting Individual Needs : Tahapan yang menekankan membantu individu agar meeting memperoleh kepuasan kebutuhan hidupnya. Perkembangan BK pada tahapan ini dipengaruhi oleh diri dan memecahkan masalahnya sendiri.
·       Transisional Professionalism : Tahapan yang memfokuskan perhatian kepada upaya profesionalisasi konselor.
·       Situasional Diagnosis : Tahapan sebagai periode perubahan dan inovasi pada tahapan ini memfokuskan pada analisis lingkungan dalam proses bimbingan dan gerakan cara-cara yang hanya terpusat pada individu.

Pada tahun 1909 setiap sekolah menengah di Boston dimasukkan seorang petugas bimbingan jabatan. Kemudian tahun 1910 sekitar 35 kota melaksanakan dan menganjurkan program formal bimbingan sekolah. Pada tahun 1911 Eli Weaper mendirikan lembaga bimbingan yang diberi nama The New York City Vocational Guidence Survey. Selanjutnya tahun 1912 melalui lembaga tersebut diselenggarkan konferensi yang kedua bimbingan jabatan di New York. Sedangkan konferensi yang ketiga diselenggarakan pada tahun 1913. Sejak tahun 1914 proses bimbingan mulai mengarah kepada bimbingan pendidikan dan terus berkembang hingga kini.

Perkembangan tanggal 20 Mei 1908 lahirlah gerakan Budi Utomo yang berusaha memperjuangkan kemajuan bangsa dalam segala lapangan kebudayaan. Sejak saat itu muncul berbagai gerakan yang mulai terorganisir dengan baik. Tahun 1922 lahir Perguruan Nasional Taman Siswa dengan asas:
1.     Kemerdekaan tiap orang untuk mengatur diri sendiri.
2.     Membiasakan anak untuk mencari pengetahuan dengan pikirannya sendiri.
3.     Berusaha dengan kekuatannya sendiri tanpa tergantung pada bantuan orang lain.
         Prinsip didaktik yang dipegang oleh Perguruan Nasional Taman Siswa ini antara lain: kemerdekaan belajar, bekerja dan menggunakan pendekatan konvergensi. Dari pola pendidikan Taman Siswa tersebut telah nampak perhatian dan penghargaan terhadap potensi seseorang dan kemerdekaan untuk mengembangkan potensi. Hal ini merupakan benih dari gerakan bimbingan konseling.
         Keberadaan Bimbingan dan Penyuluhan secara legal formal diakui tahun 1989 dengan lahirnya SK Menpan No 026/Menpan/1989 tentang Angka Kredit bagi Jabatan Guru dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Di dalam Kepmen tersebut ditetapkan secara resmi adanya kegiatan pelayanan bimbingan dan penyuluhan di sekolah. Akan tetapi pelaksanaan di sekolah masih belum jelas seperti pemikiran awal untuk mendukung misi sekolah dan membantu peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan mereka. Sampai tahun 1993 pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah tidak jelas, parahnya lagi pengguna terutama orang tua murid berpandangan kurang bersahabat dengan BP. Muncul anggapan bahwa anak yang ke BP identik dengan anak yang bermasalah, kalau orang tua murid diundang ke sekolah oleh guru BP dibenak orang tua terpikir bahwa anaknya di sekolah mesti bermasalah atau ada masalah. Hingga lahirnya SK Menpan No. 83/1993 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya yang di dalamnya termuat aturan tentang Bimbingan dan Konseling di sekolah.
         Ketentuan pokok dalam SK Menpan itu dijabarkan lebih lanjut melalui SK Mendikbud No 025/1995 sebagai petunjuk pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Di Dalam SK Mendikbud ini istilah Bimbingan dan Penyuluhan diganti menjadi Bimbingan dan Konseling di sekolah dan dilaksanakan oleh Guru Pembimbing. Di sinilah pola pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di sekolah mulai jelas.
         SK Mendikbud No. 025/1995 sebagai petunjuk pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya terdapat hal-hal yang substansial, khususnya yang menyangkut bimbingan dan konseling adalah:
1.     Istilah bimbingan dan penyuluhan secara resmi diganti menjadi bimbingan dan konseling.
2.     Pelaksana bimbingan dan konseling di sekolah adalah guru pembimbing, yaitu guru yang secara khusus ditugasi untuk itu. Dengan demikian bimbingan dan konseling tidak dilaksanakan oleh semua guru atau sembarang guru.
3.     Guru yang diangkat atau ditugasi untuk melaksanakan kegiatan bimbingan dan konseling adalah mereka yang berkemampuan melaksanakan kegiatan tersebut; minimum mengikuti penataran bimbingan dan konseling selama 180 jam.

2.2 Hakikat Bimbingan dan Konseling
A.    Pengertian bimbingan dan  konseling
Bimbingan dan konselling merupakan terjemahan dari kata-kata yang berasal dari bahasa inggris yaitu guidance dan counseling. Guidance berarti pimpinan, bimbingan, pendoman, atau petunjuk. Bimbingan adalah bantuan yang di berikan oleh seseorang yang telah terlatih denagn baik dan memiliki kepribadian dan pendidikan yang memadai kepada seseorang dari semua usia untuk membantunya untuk mengatur kegiatan, keputusan sendiri, dan menenggung bebanya sendiri (Crow and Crow dalam Prayitno & Erman Amti 1992:2)
Konseling berasal dari bahasa Latin, yaitu consilium yang berarti “dengan” atau “bersama” yang dirangkai dengan “menerima” atau “memahami.” Dengan adanya konseling ini diharapkan masalah yang dihadapi klien itu bisa teratasin dan tidak berlarut-larut. Koseling meliputi pemahaman dan hubungan individu untuk mengungkapan kebutuhan-kebutuhan, motivasi, dan potensi-potensi yang unik dari individu dan membantu individu yang bersangkutan untuk mengapresiasi ketiga hal tersebut.( Bernard and fullmer,1969). Menurut Sertzer & Stone dalam semit yang di kutip oleh Prayitno (1994:100), konseling adalah suatu proses dimana konselor membantu konseli dalam membuat intepretasi- intepretasi tentang fakta-fakta yang berhubungan dengan pilihan, rencana, penyesuaian-penyesuaianyang perlu di buat.
Menurut Mc Daniel,1956. Konseling adalah suatu rangkaian pertemuan langsung dengan individu yang di tunjukan pada pemberian batuan kepadanya untuk dapat menyesuaikan dirinya secara lebih efektif dengan dirinya sendirinya dan lingkunganya. Konseling merupakan suatu proses untuk membant individu mengatasi hambatan-hambatan perkembangan dirinya, dan untuk mencapai perkembngan yang optimal kemampuan pribadi yang dimilikinya, proses tersebut dapat terjadi setiap waktu.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa konseling adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang konselor kepada klien yang bermuara pada teratasinya mesalah yang dihadapi klien.

Bimbingan merupakan bantuan yang diberikan kepada peserta didik dalam rangka menemukan pribadi, mengenal lingkungan, dan merencanakan masa depan”.

Berdasarkan beberapa pengertian bimbingan sebagaimana tersebut di atas, dapatlah diangkat makna bimbingan sebagai berikut:

1.     Bimbingan adalah bantuan atau pertolongan (helping, aiding, assisting, availing), maka yang aktif dalam mengembang Kan diri, mengatasi masalah, dan mengambil keputusan adalah individu terbimbing (konseling) sendiri. Pembimbing (konselor) tidak memaksakan kehendaknya tetapi berperan sebagai fasilitator bagi perkembangan individu terbimbing.
Bantuan diberikan kepada individu yang sedang berkembang dengan segala keunikannya dengan mempertimbangkan keragaman dan keunikan individu. Tidak ada teknik bantuan yang berlaku umum, setiap individu akan dipahami dan dimaknai secara individual sesuai dengan pengalaman, kebutuhan, dan masalah yang dihadapinya.

2.3 Urgensi Bimbingan dan Konseling
          Dalam bahasa Indonesia, urgensi memiliki arti keharusan yang mendesak; hal yang penting. Maka dapat dikatakan apa yang dimaksud dengan urgensi bimbingan dan konseling ialah keharusan (adanya) bimbingan dan konseling. Mengapa bimbingan dan konseling harus berada dalam pendidikan para siswa? Siswa-siswi tidak akan pernah luput dari permasalahan selama mereka dalam pendidikan, dan bimbingan konseling akan memberikan arahan, solusi serta tempat bagi mereka untuk mengutarakan.
Ø  URGENSI BK DI SEKOLAH

Urgensi Bimbingan dan konseling di sekolah mengacu pada UU no 23 mengenai sisdiknas, yakni:
UU No.20 Tahun 2003 pasal 1 ayat 1 tentang Sistem Pendidikan Nasional
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta kerampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”

Dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya dibutuhkan konselor sekolah yang profesional, sehingga pekerjaan yang dilaksanakan dalam suatu profesi dapat dipertanggungjawabkan kepada semua pihak yang terkait. Untuk menjadi konselor yang profesional perlu melakukan peningkatan kemampuan secara terus menerus melalui proses belajar sepanjang hayat yang akan menjadi determinan eksistensi ketahanan hidup manusia belajar sepanjang hayat menjadi strategi belajar pada masyarakat global. Dalam melaksanakan tugas konselor diperlukan tenaga yang profesional sesuai dengan tuntutan dan kondisi saat ini.
Urgensi BK di sekolah akan semakin dirasa perlu jika pelayanan BK tersebut mampu memberikan kontribusi yang berarti terhadap upaya memperkuat fungsi-fungsi pendidikan. BK sebagai salah satu sub-bidang dari bidang pembinaan di sekolah mempunyai fungsi yang khas bila dibandingkan dengan sub-bidang lainnya meskipun semua sub-bidang tersebut merupakan pelayanan khusus kepada klien. Fungsinya yang khas bersumber dari corak pelayanan yang bersifat psikis. Peranan BK di sekolah untuk mengembangkan diri dan potensi klien secara optimal menuntut pelaksanaan BK di sekolah secara efektif dan efisien serta pembinaan dan pengembangan sesuai dengan ketentuan dan pedoman yang berlaku.
Faktor yang melatar belakangi bimbingan dan penyuluhan dalam lapangan pendidikan :
1.     Faktor perkembangan pendidikan:
- demokrasi pendidikan,
- perubahan sistem,
- perluasan peraturan pendidikan.
2.     Faktor sosial kultural faktor ini muncul sebagai akibat dari perubahan sosial dan budaya yang menimbulkan kesenjangan antara satu golongan dengan golongan lain.
Faktor psikologi dari segi anak adalah pribadi yang sedang berkembang yang menuju ke arah kedewasaan.

SUMBER :
Dra. Hallen, A. M.Pd. 2005. Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Quantum Teaching
http://butterfly31girl.blogspot.com/2012/05/sejarah-perkembangan-bimbingan-dan.html
http://riezkaratna73.blogspot.com/2013/09/urgensi-bimbingan-dan-konseling.html

CONTOH MAKALAH MATERI MOTIVASI PSIKOLOGI

BY : GRACE AUDINA


BAB II
PEMBAHASAN
II.I Pengertian Motivasi
Huitt, W. (2001) mengatakan motivasi adalah suatu kondisi atau status internal (kadang-kadang diartikan sebagai kebutuhan, keinginan, atau hasrat) yang mengarahkan perilaku seseorang untuk aktif bertindak dalam rangka mencapai suatu tujuan. Thursan Hakim (2000 : 26) mengemukakan pengertian motivasi adalah suatu dorongan kehendak yang menyebabkan seseorang melakukan suatu perbuatan untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut Sudarwan Danim (2004 : 2), motivasi diartikan sebagai kekuatan, dorongan, kebutuhan, semangat, tekanan, atau mekanisme psikologis yang mendorong seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai prestasi tertentu sesuai dengan apa yang dikehendakinya. Maka, dapat disimpulkan bahwa motivasi ialah suatu dorongan psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu.
Motivasi berasal dari kata “motif”. Dalam bahasa Inggris disebut “motive” yang berasal dari kata “movere” atau “motion” yang artinya gerakan atau sesuatu yang bergerak. Motivasi artinya ialah istilah umum yang merujuk kepada seluruh proses gerakan itu, termasuk situasi yang mendorong, dorongan yang timbul dalam diri individu, perilaku yang ditimbulkan oleh situasi tersebut, dan tujuan atau akhir dari pada tindakan atau perbuatan tersebut. Dalam psikologi, istilah motif pun erat hubungannya dengan “gerak”, yaitu gerakan yang dilakukan oleh manusia atau disebut juga perbuatan atau perilaku. Motif dalam psikologi berarti juga rangsangan, dorongan, atau pembangkit tenaga bagi terjadinya suatu perbuatan (action) atau perilaku (behavior).
Sebagai contoh, seseorang yang baru lulus universitas dan sedang mencari pekerjaan, maka ia sangat termotivasi dalam mencari pekerjaan itu. Sementara itu, motifnya sendiri untuk mencari kerja adalah untuk membantu orang tuanya.


II.II Teori Motivasi
Teori Hierarki Kebutuhan (Maslow)
Abraham Maslow (1943) membagi kebutuhan berdasarkan lima tingkatan yaitu:
  1. Kebutuhan fisiologis (rasa lapar, rasa haus, dan sebagainya).
  2. Kebutuhan rasa aman (merasa aman dan terlindung, jauh dari bahaya)
  3. Kebutuhan akan rasa cinta dan rasa memiliki (berafiliasi dengan orang lain, diterima, memiliki).
  4. Kebutuhan akan penghargaan (berprestasi, berkompetensi, dan mendapatkan dukungan serta pengakuan).
  5. Kebutuhan aktualisasi diri (kebutuhan kognitif: mengetahui, memahami, dan menjelajahi; kebutuhan estetik: keserasian, keteraturan, dan keindahan; kebutuhan aktualisasi diri: mendapatkan kepuasan diri dan menyadari potensinya).
Teori Kebutuhan ERG (Alderfer)
Alderfer membagi kebutuhan berdasarkan 3 himpunan kebutuhan mulai dari yang paling nyata sampai yang tidak, yaitu: Existence (keberadaan), Relatedness (hubungan), Growth (pertumbuhan).
Menurut Aldelfer ada beberapa hukum tentang ERG:
  1. Jika Existence makin terpenuhi, maka akan makin besar kebutuhan akan Relatedness.
  2. Jika Relatedness makin terpenuhi, maka kebutuhan akan Growth makin besar untuk dipenuhi.
  3. Makin tidak terpenuhinya kebutuhan Existence, maka dorongan untuk memenuhinya semakin kuat.
  4. Makin tidak terpenuhinya kebutuhan Relatedness, maka dorongan untuk memenuhi Existence akan makin kuat.
  5. Makin terpenuhinya dorongan untuk Growth maka dorongan itu tidak akan berhenti, justru muncul makin kuat.
Teori Kebutuhan Dua Faktor (Herzberg)
Herzberg (1966) membagi kebutuhan atas 2 faktor, yaitu faktor intrinsik (Motivator) dan faktor ekstrinsik (Hygiene).
1.       Motivator yaitu pencapaian, pengakuan, tanggung jawab, kesempatan untuk maju dan kerja yang menarik.
2.       Hygiene yaitu kondisi kerja, jenis supervisi, hubungan dengan rekan kerja, gaji dan kebijakan perusahaan.
Teori Kebutuhan Berprestasi (McClelland)
Teori Kebutuhan Berprestasi atau Achievement Motivation Theory oleh Mc.Clelland yaitu:
1.     Need for achievement (kebutuhan akan prestasi).
2.     Need for afiliation (kebutuhan akan hubungan sosial/hampir sama dengan soscialneed-nya Maslow).
3.     Need for Power (dorongan untuk mengatur).

Teori Atribusi (Attribution Theory)
Teori atribusi merupakan teori yang menjelaskan tentang perilaku seseorang.
Fritz Heider menjelaskan bahwa perilaku manusia itu disebabkan oleh 2 faktor yaitu:
  1. Faktor internal (atribusi internal), misalnya sifat, karakter, sikap, dan sebagainya.
  2. Faktor eksternal (atribusi eksternal), misalnya tekanan situasi atau keadaan tertentu yang memaksa seseorang melakukan perbuatan tertentu.

II.III Jenis-jenis Motivasi
Jenis-jenis motivasi dapat dibedakan menjadi 2, berdasarkan sumbernya dan kebutuhannya, yaitu :
1.    Dilihat dari sumbernya, motivasi ada 2 yaitu :
  1. Motivasi Instrinsik, yaitu motivasi yang berada dalam diri seseorang atau dorongan atau gerakan untuk melakukan sesuatu yang tidak dipengaruhi oleh faktor lain dari luar dirinya, seperti; kebutuhan mempunyai pekerjaan atau kebutuhan untuk memperoleh teman baik.
  2. Motivasi Ekstrinsik, yaitu motivasi yang timbul pada diri seseorang akibat pengaruh dari luar dirinya, akibat hubungan dengan orang lain ataupun karena pengaruh lingkungan sekitarnya. Jadi orang itu dirangsang dari luar.
2.    Dilihat dari kebutuhan, motivasi ada 3 yaitu :
  1. Motivasi Biologis, tercakup di dalamnya adalah motivasi lapar (hunger motivation); motivasi haus (thrst motivation); motivasi seksual (sexual motivation).
  2. Motivasi sosial, termasuk di dalamnya antara lain; motivasi pencapaian (achievement motivation); dan motivasi kekuasaan (power motivation).
  3. Motivasi Aktualisasi Diri (self actualization); dan motivasi untuk bertindak efektif (effectance motivation) dalam kelompok motivasi yang membuat seseorang bertindak efektif.
II.IV Motivasi Berprestasi dan Karakteristiknya
Motivasi berprestasi ialah kemampuan untuk berprestasi diatas kemampuan orang lain. Menurut Mc Clelland, seseorang dianggap memiliki motivasi untuk berprestasi jika ia mempunyai keinginan untuk melakukan suatu karya berprestasi lebih baik dari prestasi karya orang lain. Terdapat beberapa karakteristik dari orang yang menurut Mc Clelland sebagai berprestasi tinggi, antara lain;
  1. Suka mengambil resiko yang moderat (moderate risk). Pada umumnya, nampak pada permukaan usaha, bahwa orang berpretasi tinggi mempunyai resiko yang besar. Tetapi penemuan Mc Clelland, sebagai ilustrasi, Mc Clelland melakukan percobaan labolatorium, beberapa partisipan diminta olehnya melempar lingkaran-lingkaran kawat pada pasak-pasak yang telah dipasang, pada umumnya orang-orang tersebut melempar secara acak. Kadang-kadang agak jauh, kadang-kadang dekat dengan pasak. Orang-orang uang mempunyai kebutuhan untuk berprestasi lebih tinggi cara melemparnya, akan jauh berbeda dengan kebanyakan orang tersebut. Orang ini akan lebih berhati-hati mengukur jarak. Dia tidak akan terlalu dekat agar semua kawat bisa masuk ke pasak dengan mudah, dan juga tidak terlalu jauh sehingga kemungkinan meleset itu besar sekali. Dia ukur jarat sedemikian rupa, sehingga kemungkinan masuknya kawat, lebih banyak kemungkinan masuknya, dibandingkan dengan melesetnya. Orang semacam ini mau berprestasi dengan suatu resiko yang moderat, tidak terlalu besar resikonya, dan juga tidak terlampau rendah.
  2. Memerlukan umpan balik yang segera. Ciri ini amat dekat dengan karakteristik di atas. Seseorang yang mempunyai kebutuhan prestasi tinggi, pada umumnya lebih mengenangi akan semua informasi akan hasil-hasil yang dikerjakannya. Informasi yang merupakan umpan balik yang bisa memperbaiki prestasinya dikemudian hari sangat dibutuhkan oleh orang tersebut. Informasi itu akan memberikan kepadanya penjelasan bagaimana ia berusaha memperoleh hasil. Sehingga ia tahu kekurangannya, yang nantinya bisa diperbaiki untuk peningkatan prestasi berikutnya.
  3. Memperhitungkan keberhasilan. Seseorang yang berprestasi tinggi, pada umumnya hanya memperhitungkan keberhasilan prestasinya saja dan tidaj memperdulikan penghargaan-penghargan materi. Ia lebih tertarik pada materi intrinsik dari tugas yang dibebankan kepadanya sehingga menimbulkan prestasi dan sama sekali tidak mengharapkan hadiah-hadiah materi dan penghargaan lainnya atas prestasinya tersebut. Kalau dalam berprestasi kemudian mendapatkan pujian, penghargaan dan hadiah-hadiah yang melimpah, hal tersebut bukanlah karena ia mengharapkan tetapi karena orang lain atau lingkungannya yang akan menghargainya.
  4. Menyatu dengan tugas. Sekali orang yang berprestasi tinggi memilih suatu tujuan untuk dicapai, maka ia cenderung untuk menyatu dengan tugas pekerjaannya sampai ia benar-benar berhasil secara gemilang. Hal ini berarti bahwa ia bertekad akan mencapai tujuan yang telah dipilihnya dengan ketekatan hati yang bulat. Dia tidak bisa meninggalkan tugas yang selesai baru separuh perjalanan, dan dia tidak akan puah sebelum pekerjaan itu selesai seluruhnya. Tipe komitmen pada dedikasi ini memancar dari kepribadian yang teguh. Orang lain merasakan bahwa orang berprestasi tinggi seringkali tidak bersahabat (loner). Dia cenderung realistik mengenai kemampuannya dan tidak menyenangi orang lain bersama-sama dalam satu jalan dalam pencapaian suatu tujuan.
II.V Peranan Motivasi dalam Belajar
Seseorang yang sedang belajar, tentunya memiliki motivasi dalam melakukan hal tersebut. Bahkan untuk memegang pulpen atau pensilpun memiliki motivasi tersendiri. Menurut Mrs. Desmaliza, belajar ialah perubahan tingkah laku pada diri individu tersebut. Perubahan tingkah laku pada diri seorang individu, pastilah memiliki motivasi dalam melakukannya. Motivasilah yang berperan penting dalam belajar, dan terdapat beberapa peranan motivasi dalam belajar, diantaranya ialah:
  1. Membuat anak bersemangat dalam belajar.
  2. Mata pelajaran yang dulunya tidak disukai murid, bisa menjadi mata pelajaran yang paling disukainya.
  3. Anak menjadi lebih kreatif dalam belajar, misalnya menyusun jadwalnya dengan baik dan benar.
  4. Anak menjadi rajin dalam mengerjakan tugas, seperti membaca,menulis dan sebagainya.
  5. Membuat anak menjadi lebih aktif.
  6. Dengan memotivasi anak kita tidak perlu memaksakan si anak dalam belajar. Karena melalui motifasi yang baik dan benar dengan sendirinya si anak akan belajar karena didorong oleh motivasi.
  7. Guru tidak perlu menggunakan kekerasan dalam menyuruh anak untuk belajar, cukup dengan memotivasi anak tersebut.
  8. Tanpa di awasi oleh guru atau pun orang tua si anak dapat belajar dengan baik.
  9. Dengan motivasi siswa akan mengetahui dengan jelas makna dalam belajar.
  10. Anak akan lebih fokus dalam mengembangkan kemampuannya atau pun bakatnya.
  11. Anak akan mengurangi sikap yang kurang menguntungkan atau kurang baik, misalnya bermain atau menonton tv.
  12. Anak yang gagal mengerjakan sesuatu, tidak akan menyerah dan mencobanya lagi dengan adanya dorongan motivasi (pantang menyerah).
II.VI Usaha Guru dalam Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa
Sebagai guru, kita akan menjadi motivator para siswa dalam belajar. Menurut Mr. Fauzi ( Dosen Ilmu Pendidikan di semester 1, UMT ), “guru ialah motivator, namun motivator belum tentu seorang guru”. Terkadang, setiap guru memiliki cara tertentu dalam memotivasi para siswa mereka, seperti memberikan penghargaan kepada mereka yang aktif ataupun memberikan nasihat-nasihat motivasi. Berikut ini dikemukakan beberapa petunjuk untuk meningkatkan motivasi belajar siswa, yaitu:
  1. Memperjelas tujuan yang ingin dicapai.
Tujuan yang jelas dapat membuat siswa paham kearah mana ia ingin dibawa. Pemahaman siswa terhadap tujuan pembelajaran dapat menumbuhkan minat siswa untuk belajar yang pada gilirannya dapat meningkatkan motivasi belajar mereka. Semakin jelas tujuan yang ingin dicapai, maka akan semakin kuat motivasi nbelajar siswa (Sanjaya, 2009:29). Oleh sebab itu, sebelum proses pembelajaran dimulai hendaknya guru menjelaskan terlebih dahulu tujuan yang ingin dicapai.
  1. Membangkitkan minat siswa
Siswa akan terdorong untuk belajar manakala mereka memiliki minat untuk belajar. Oleh karena itu, mengembangkan minat belajar siswa merupakan salah satu teknik dalam mengembangkan motivasi belajar (Sanjaya, 2009:29). Salah satu cara yang logis untuk momotivasi siswa dalam pembelajaran adalah mengaitkan pengalaman belajar dengan minat siswa (Djiwandono, 2006:365)
  1. Ciptakan suasana yang menyenangkan dalam belajar
Siswa hanya mungkin dapat belajar baik manakala ada dalam suasana yang menyenangkan, merasa aman, bebas dari takut. Usahakan agar kelas selamanya dalam suasana hidup dan segar, terbebas dari rasa tegang. Untuk itu guru sekali-kali dapat melakukan hal-hal yang lucu.
  1. Menggunakan variasi metode penyajian yang menarik
Guru harus mampu menyajikan informasi dengan menarik, dan asing bagi siswa-siswa. Sesuatu informasi yang disampaikan dengan teknik yang baru, dengan kemasan yang bagus didukung oleh alat-alat berupa sarana atau media yang belum pernah dikenal oleh siswa sebelumnya sehingga menarik perhatian bagi mereka untuk belajar (Yamin, 2009:174). Misalnya, untuk membangkitkan minat belajar siswa dapat dilakukan dengan cara pemutaran film, mengundang pembicara tamu, demonstrasi, komputer, simulasi, permaianan peran, belajar melalui radio, karya wiasata, dan lainnya (Anni, dkk., 2006:186-187 : Hamalik, 2009:168).
  1. Berilah pujian yang wajar setiap keberhasilan siswa
Motivasi akan tumbuh manakala siswa merasa dihargai. Dalam pembelajaran, pujian dapat dimanfaatkan sebagai alat motivasi. Karena anak didik juga manusia, maka dia juga senang dipuji. Karena pujian menimbulkan rasa puas dan senang (Sanjaya, 2009:30 ; Hamalik, 2009:167). Jangan memuji secara berlebihan karena akan terkesan dibuat-buat. Pujian yang baik adalah pujian yang keluar dari hati seoarang guru secara wajar dengan maksud untuk memberikan penghargaan kepada siswa atas jerih payahnya dalam belajar (Djamarah dan Zain, 2006:152).
  1. Berikan penilaian
Banyak siswa yang belajar karena ingin memperoleh nilai bagus. Untuk itu mereka belajar dengan giat. Bagi sebagian siswa nilai dapat menjadi motivasi yang kuat untuk belajar. Oleh karena itu, penilaian harus dilakukan dengan segera agar siswa secepat mungkin mengetahui hasil kerjanya. Penilaian harus dilakukan secara objektif sesuai dengan kemampuan siswa masing-masing (Sanjaya, 2009:31).
7.               Berilah komentar terhadap hasil pekerjaan siswa
Siswa butuh penghargaan. Penghargaan bisa dilakukan dengan memberikan komentar yang positif. Setelah siswa selesai mengerjakan suatu tugas, sebaiknya berikan komentar secepatnya, misalnya dengan memberikan tulisan “ bagus” atau “teruskan pekerjaanmu” dan lain sebagainya. Komentar yang positif dapat meningkatkan motivasi belajar siswa (Sanjaya, 2009:21). Seperti pengalaman Mrs. Desmaliza, yaitu selalu mendapat komentar pada lembar tugasnya, hal itu termasuk motivasi yang sangat bermanfaat. Tetapi, pemberian celaan kurang menumbuhkan motivasi dalam belajar. Bahkan menimbulkan efek psikologis yang lebih jelek.
  1. Ciptakan persaingan dan kerjasama
Persaingan yang sehat dapat menumbuhkan pengaruh yang baik untuk keberhasilan proses pemebelajaran siswa. Melalui persaingan siswa dimungkinkan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memperoleh hasil yang terbaik (Sanjaya, 2009:31). Oleh sebab itu, guru harus mendesain pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk bersaing baik antar kelompok maupun antar individu. Contohnya seperti metode pembelajaran Mata Kuliah Speaking 2 yang menggunakan metode pro-kontra disetiap minggunya.

SUMBER :
Sarwono W. Sarlito. 2010. Pengantar Psikologi Umum. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Handoko, H.T. (2003). Manajemen , Edisi Kedua. Yogyakarta BPFE: Yogyakarta.
Wina Senjaya. 2008. Strategi Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Kencana Prenada Media Group: Jakarta.