BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Al-Qur’an
merupakan wahyu Allah yang diturunkan kepada seluruh umat manusia melalui Nabi
Muhammad saw. untuk menjadi petunjuk dalam menjalani kehidupan ini. al-Qur’an
berisi ayat-ayat yang arti etimologisnya “tanda-tanda” dalam bentuk bahasa Arab
mengandung berbagai aspek kehidupan manusia dan tidak hanya terbatas pada aspek
keagamaan semata.
Sebagai
intelektual muslim dan pewaris para nabi, ulama berkewajiban memperkenalkan
al-Qur’an dan menyuguhkan pesan-pesan dan menjelaskan nilai-nilai tersebut
sejalan dengan perkembangan masyarakat sehingga al-Qur’an dapat benar-benar
berfungsi sebagaimana mestinya. Untuk menyampaikan nilai-nilai tersebut, ulama
menempuh beberapa metode, baik metode penulisan maupun metode pembahasan. Salah
satu metode pembahasan yang paling populer digunakan ulama atau cendekiawan
saat ini adalah metode maudhu’i (tematik) yaitu upaya menjelaskan
ayat-ayat al-Qur’an yang terkait dengan satu topik dan menyusunnya sebagai
sebuah kajian yang lengkap dari berbagai sisi permasalahannya.
Kendatipun
al-Qur’an mengandung berbagai macam masalah, ternyata pembicaraannya tentang
suatu masalah tidak selalu tersusun secara sistematis sehingga perlu
menggunakan metode tematik tersebut. Salah satu topik yang paling sering
menjadi bahan pembicaraan dan termasuk permasalahan yang sentral dalam
al-Qur’an adalah amanah. Amanah merupakan aspek akhlak muamalah yang sangat
penting karena terkait dengan kewajiban. Dalam al-Qur’an dijelaskan betapa
beratnya sebuah amanah. Allah berfirman dalam surah al-Ahzab ayat 72:
إِنَّا
عَرَضْنَا الأمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ
يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الإنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ
ظَلُومًا جَهُولا.
Allah
memberikan amanah kepada langit tapi langit tidak mampu mengembannya kemudian
diberikan kepada bumi dan gunung ternyata semuanya tidak mampu memikul amanah
tersebut. Namun, hanya manusia yang berani menerima amanah itu. Amanah
pada kenyataannya tidak semudah yang dipikirkan karena dengan adanya amanah
berarti ada pembebanan atau tuntutan bagi yang bersangkutan untuk merealisasikan.
Kajian dalam makalah ini berusaha mengungkapkan makna amanah dan hal-hal yang
terkait dengan amanah meliputi objek amanah, bentuk-bentuk serta pandangan atau
sikap al-Qur’an terhadap amanah.
Berbagai
metode digunakan dalam mengungkap makna dan maksud dari term-term amanah baik
dalam bentukfi’il atau isim . Dari situlah akan muncul sebuah
pemahaman yang komprehensif tentang amanah ditinjau dari berbagai sudut pandang
sehingga akan mengantarkan pada sikap untuk menjaga dan menghargai semua
amanah, karena dalam hadis disebutkan bahwa لاَ إِيمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَةَ لَه.
“Tidak ada keimanan bagi orang yang tidak melaksanakan amanah”. Oleh karena
itu, mengkaji makna amanah dan aspeknya dalam al-Qur’an sangatlah penting.
Selain sebagai wawasan keagamaan juga sebagai bentuk pengembangan kajian
akademis.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan
penjelasan pada latar belakang di atas, dapat dibuat rumusan masalah sebagai
berikut:
- Apa
sebenarnya pengertian amanah dalam al-Qur’an ?
- Apa
saja sifat amanah dalam al-Qur’an ?
- Bagaimana
Sikap al-Qur’an terhadap Amanah ?
- Bagaimana
konsep Amanah dalam Al-Qur’an ?
1.3
Tujuan
Adapun
beberapa tujuan dari dibuatnya makalah ini, yaitu :
- Memenuhi
tugas mata kuliah AIKA 3 yang diberikan oleh dosen pembimbing.
- Mempelajari
lebih dalam mengenai Amanah.
- Berbagi
ilmu mengenai Amanah melalui makalah kepada para pembaca dan teman-teman.
1.4
Metode
Metode
yang saya gunakan dalam memenuhi tugas mata kuliah AIKA 3 ini ialah melalui
media-media seperti media cetak, internet, sumber orang ahli dan sebagainya.
BAB
1
ISI
2.1
Pengertian Amanah
Amanah
salah satu bahasa Indonesia yang telah disadur dari bahasa Arab. Dalam Kamus
Bahasa Indonesia, kata yang menunjuk makna kepercayaan menggunakan dua kata,
yaitu amanah atau amanat. Amanah memiliki beberapa arti, antara lain 1) pesan
yang dititipkan kepada orang lain untuk disampaikan. 2) keamanan: ketenteraman.
3) kepercayaan. Sedangkan amanat diartikan sebagai 1) sesuatu yang dipercayakan
atau dititipkan kepada orang lain. 2) pesan. 3) nasihat yang baik dan berguna
dari orang tua-tua; petuah. 4) perintah (dari atas). 5) wejangan (dari seorang
pemimpin). Sedangkan dalam bahasa Arab, kata amanah diambil dari akar
kata alif, mim dan nun yang memiliki dua makna: 1) lawan
kata khianat yaitu ketenangan dan ketenteraman hati, 2) al-tas}diq yaitu
pembenaran. Ibrahim dkk., mengatakan bahwa amanah dapat diartikan sebagai
penetapan janji dan titipan.
Abu
al-Baqa’ al-Kafumi mengatakan bahwa amanah adalah segala kewajiban yang
dibebankan kepada seorang hamba, seperti shalat, zakat, puasa, bayar hutang dan
segala kewajiban yang lain. Muhamamd Rasyid Rida mengatakan bahwa amanah adalah
kepercayaan yang diamanatkan kepada orang lain sehingga muncul ketenangan hati
tanpa kekhawatiran sama sekali. Fakhr al-Din al-Razi berpendapat bahwa amanah
adalah ungkapan tentang suatu hak yang wajib ditunaikan kepada orang lain.
Abu
Hayyan al-Andalusi mengatakan bahwa secara kasat mata, amanah adalah segala
bentuk kepercayaan yang diberikan kepada seseorang, baik dalam bentuk perintah
maupun larangan, baik terkait urusan duniawi maupun urusan ukhrawi. Sehingga
semua syariat Allah adalah amanah. Al-Qurtubi berpendapat bahwa amanah
adalah segala sesuatu yang dipikul/ditanggung manusia, baik sesuatu terkait
dengan urusan agama maupun urusan dunia, baik terkait dengan perbuatan maupun
dengan perkataan di mana puncak amanah adalah penjagaan dan pelaksanaannya. Dalam
al-Qur’an lafaz yang mengarah pada makna amanah atau kepercayaan berulang
sebanyak 20 kali yang kesemuanya dalam bentuk isim, kecuali satu lafaz dalam bentuk
fi’il yaitu اؤتمن dalam QS. al-Baqarah/2: 283.
Namun
untuk mengetahui subtansi amanah, maka perlu dilihat dari tiga aspek yaitu:
subjek, objek dan predikat atau subtansi.
Subtansi
amanah adalah kepercayaan yang diberikan orang lain terhadapnya sehingga
menimbulkan ketenangan jiwa. Hal tersebut dapat terlihat dalam QS. al-Baqarah:
283:
فَإِنْ
أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ.
Terjemahnya:
“Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)”.
Jika
dilihat dari sisi subjeknya (pemberi amanah), maka amanah bisa datang dari
Allah swt. sebagaimana yang dipaparkan dalam QS. al-Ahzab: 72:
إِنَّا
عَرَضْنَا الأمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ
يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الإنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ
ظَلُومًا جَهُولا.
Terjemahnya:
“Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan
gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka
khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”.
Dan
kadang amanah tersebut datang dari manusia itu sendiri, sebagaimana yang
tertera dalam QS. al-Baqarah: 283:
فَإِنْ
أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ
اللَّهَ رَبَّهُ.
Terjemahnya:
“Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya”.
Sedangkan
jika dilihat dari objeknya (orang yang melakasanakan amanah), maka amanah
diberikan kepada malaikat, jin, manusia, baik para nabi maupun bukan nabi
sebagaimana penjelasan selanjutnya. Berangkat dari ketiga unsur tersebut dan
penafsiran para ulama tafsir, dapat dipahami bahwa amanah adalah kepercayaan
yang diberikan oleh Allah swt, atau makhluk lain untuk dilaksanakan oleh orang
yang diberi amanah yang meliputi malaikat, jin dan manusia, atau bahkan alam
semesta.
Dengan
demikian, amanah yang datang dari Allah swt. terkait dengan segala bentuk
perintah dan larangan yang dibebankan kepada manusia. Sedangkan amanah dari
manusia terkait dengan segala bentuk kepercayaan, baik dalam bentuk harta
benda, jabatan dan rahasia. Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa
amanah adalah amal saleh yang paling agung, namun sangat berat dilaksanakan,
sehingga wajar kemudian jika langit, bumi dan gunung enggan menerima amanah
dari Allah swt., bahkan manusia yang berani menerima amanah dan tidak mampu
melaksanakannya dianggap sebagai zalum jahul (penganiaya dan bodoh).
Oleh
karena itu, amanah harus diberikan kepada orang yang ahli dalam bidangnya agar
tidak menimbulkan kekacauan yang digambarkan sebagai kiamat dalam hadis nabi.
إِذَا
ضُيِّعَتِ الأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ، قَالَ: كَيْفَ إِضَاعَتُهَا يَا
رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: إِذَا أُسْنِدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ
السَّاعَةَ.
Artinya:
“Jika amanah telah disia-siakan maka tunggulah kiamat, sahabat bertanya,
bagaimana penyia-nyian amanah wahai Rasulullah saw.? Rasulullah menjawab, jika
suatu urusan diserahkan bukan kepada ahlinya”.
Lebih
jauh dari itu, Nabi Muhammad saw. tidak mau memberikan amanah kepada Abu Zarr
al-Gifari ketika meminta jabatan, bahkan Nabi saw. mengatakan bahwa engkau
terlalu lemah untuk posisi tersebut.
عَنْ
أَبِي ذَرِّ قَالَ: قُلْتُ يَا رَسُوْلُ اللهِ أَلاَ تَسْتَعْمِلْنِي؟ قَالَ
فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِي ثُمَّ قَالَ (يَا أَبَا ذَرِّ إِنَّكَ ضَعِيْفٌ
وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلاَّ
مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيْهَا).
Artinya:
“Dari Abu Zarr berkata, saya berkata kepada Rasulullah saw. wahai Rasul,
hendaklah engkau memberiku jabatan? Rasulullah saw. kemudian menepuk punggungnya
seraya berkata, wahai Abu Zarr,
sesungguhnya engkau itu lemah dan sungguh jabatan itu adalah amanah dan jabatan
itu pada hari kiamat hanyalah kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang
mengambilnya secara benar dan melaksanakannya dengan sebaik-baiknya”.
2.2 Sifat Amanah dalam Alqur’an
dan Al hadist
Sifat
amanah adalah sifat para nabi dan rasul yang Allah pikulkan tanggung jawab
dalam menyampaikan risalah-Nya. Selain itu amanah juga adalah sifat-sifat para
malaikat yang mengerjakan kebaikan, dan dari kalangan mereka adalah Jibril
alaihissalam yang menurunkan Al-Quran ke atas Nabi Muhammad
shallahualaihiwasallam. Demikian juga sifat amanah itu adalah dari sifat-sifat
para hamba Allah Ta’ala yang beriman daripada kalangan jin dan manusia.
1. Sifat Amanah Nabi
dan Rasul ALLAH S.W.T
Dalam
al-Qur’an, makhluk yang paling sering disifati dengan amanah adalah para nabi
dan rasul, sehingga dalam kitab-kitab ilmu kalam, para nabi dan rasul memiliki
empat sifat yang wajib bagi mereka, seperti al-tablig menyampaikan risalah
kepada umatnya, al-fatanah memiliki kecerdasan atau intelegensia yang
tinggi, al-sidq memiliki kejujuran dan al-amanah dapat dipercaya atau
memiliki integritas yang tinggi. Dengan demikian, sering ditemukan dalam
beberapa ayat, para rasul menyipati dirinya sebagai al-amin.
Nabi
Nuh, misalnya ketika mengajak kaumnya untuk takut kepada siksaan Allah swt.
atas kesyirikan yang mereka lakukan, namun kaum Nuh itu tetap mendustakan dia
dan rasul-rasul sebelumnya, sehingga nabi Nuh mengatakan kepada kaumnya:
أَلا
تَتَّقُونَ. إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ.
Terjemahnya:
“Mengapa kamu tidak bertakwa?. Sesungguhnya Aku adalah seorang Rasul
kepercayaan (yang diutus) kepadamu” (QS. al-Syu’ara’: 106-107).
Nabi
Nuh mengatakan hal tersebut di atas, sebagai bentuk keheranannya atas
kesyirikan yang mereka lakukan padahal sudah dilarang olehnya dan dia termasuk
orang yang dikenal terpercaya dan tidak pernah dicurigai oleh kaumnya.
Senada
dengan Nabi Nuh, Nabi Hud juga mengajak kaumnya agar mengenal Allah swt. dan
taat kepada-Nya dengan melakukan hal-hal yang dapat mendekatkan diri kepada-Nya
dan menjauhkan dari siksaan-Nya, namun mereka tetap inkar dan mendustakan Nabi
Hud dengan mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Nabi Nuh.
أَلا
تَتَّقُونَ. إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ.
Terjemahnya:
“Mengapa kamu tidak bertakwa?. Sesungguhnya Aku adalah seorang Rasul
kepercayaan (yang diutus) kepadamu” (QS. al-Syu’ara’) Bahkan pada ayat yang
lain, Nabi Hud disebutkan sebagai pemberi nasehat yang dapat dipercaya, ketika
kaumnya menolak ajakannya untuk menyembah Allah swt. dan takut kepada-Nya, akan
tetapi kaumnya kemudian mengejeknya dengan menuduhnya sebagai orang bodoh dan
pendusta, lalu Nabi Hud menyanggah ejekan itu dengan mengatakan:
يَا
قَوْمِ لَيْسَ بِي سَفَاهَةٌ وَلَكِنِّي رَسُولٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ.
أُبَلِّغُكُمْ رِسَالَاتِ رَبِّي وَأَنَا لَكُمْ نَاصِحٌ أَمِينٌ.
Terjemahnya:
“Hai kaumku, tidak ada padaku kekurangan akal sedikitpun, tetapi Aku Ini adalah
utusan dari Tuhan semesta alam. Aku menyampaikan amanat-amanat Tuhanku kepadamu
dan Aku hanyalah pemberi nasehat yang terpercaya bagimu” (QS. al-A‘raf: 67-68).
Menurut
al-Razi, maksud dari ungkapan nasih amin dalam ayat tersebut sebagai
1) Sanggahan terhadap ungkapan kaumnya وِإِنَّا لَنَظُنُّكَ مِنَ الكاذبين, 2)
Pokok pembicaraan tentang risalah dan tabli>g adalah amanah, sehingga
ungkapan tersebut sebagai penguat terhadap risalah dan kenabian, 3) penjelasan
tentang integritas Nabi Hud sebelum menjadi rasul sebagai seorang yang dikenal
amanah oleh kaumnya. Oleh karena itu tidak seharusnya kaumnya menganggapnya
sebagai pembohong atau orang bodoh. Hal yang sama dilakukan oleh Nabi Salih},
Nabi Lut dan Nabi Syu’aib dengan mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh
Nabi Nuh dan Nabi Hud, yaitu:
أَلا
تَتَّقُونَ. إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ.
Terjemahnya:
“Mengapa kamu tidak bertakwa?. Sesungguhnya Aku adalah seorang Rasul
kepercayaan (yang diutus) kepadamu”. Di samping nabi-nabi yang telah disebutkan
di atas, nabi yang juga disifati sebagai al-amin adalah Nabi Musa
as., bahkan Nabi Musa disebutkan dua kali sebagai al-amin dalam
al-Qur’an, yaitu pada QS. al-Dukhan: 18.
وَلَقَدْ
فَتَنَّا قَبْلَهُمْ قَوْمَ فِرْعَوْنَ وَجَاءَهُمْ رَسُولٌ كَرِيمٌ. أَنْ أَدُّوا
إِلَيَّ عِبَادَ اللَّهِ إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ.
Terjemahnya:
“Sesungguhnya sebelum mereka Telah kami uji kaum Fir’aun dan Telah datang
kepada mereka seorang Rasul yang mulia. (dengan berkata): “Serahkanlah kepadaku
hamba-hamba Allah (Bani Israil yang kamu perbudak). Sesungguhnya Aku adalah utusan
(Allah) yang dipercaya kepadamu”. Kata rasul al-amin dalam ayat
tersebut sebagai dasar ajakan Nabi Musa terhadap kaumnya agar beribadah kepada Allah
swt. pengakuan Nabi Musa as. diperkuat oleh mukjizat yang dimilikinya.
Sedangkan al-amin kedua
yang diberikan kepada Nabi Musa terjadi bukan dalam masalah risalah, akan
tetapi tentang penilaian putri Nabi Syu’aib kepada Nabi Musa as. dengan
mengatakan:
قَالَتْ
إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ
الْقَوِيُّ الأمِينُ.
Terjemahnya:
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai
orang yang bekerja (pada kita), Karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang
kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang Kuat lagi dapat
dipercaya” (QS. al-Qasas: 26). Dalam tafsir al-Tabari dijelaskan bahwa
penilaian salah satu putri Nabi Syu’aib terhadap Nabi Musa bahwa dia sangat
kuat dan dapat dipercaya karena apa yang dilihatnya pada saat Nabi Musa memberi
minum terhadap hewan ternak mereka, sedangkan penilaian amanah terjadi karena
keterjagaan pandangan Nabi Musa terhadap kedua putri Nabi Syu’aib dalam
perjalanan ke rumah mereka.
2. Malaikat
Di
antara makhluk yang menjadi objek amanah adalah malaikat. Malaikat terkadang
disifati sebagai al-amin oleh Allah swt., khususnya Jibril pembawa wahyu
kepada para nabi.
وَإِنَّهُ
لَتَنزيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ. نزلَ بِهِ الرُّوحُ الأمِينُ. عَلَى قَلْبِكَ
لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ.
Terjemahnya:
“Dan Sesungguhnya Al Quran Ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta Alam.
Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril). Ke dalam hatimu (Muhammad) agar
kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan” (QS.
al-Syu’ara’: 192-194). Menurut Ibn ‘Asyur, yang dimaksud dengan al-ruh
al-amin dalam ayat tersebut adalah Jibril as. Menurutnya, Jibril as.
dinamakan al-ruh karena malaikat berasal dari alam ruhaniyah,
sedangkan al-amindiberikan sebagai kepercayaan Allah swt. terhadap Jibril
untuk menyampaikan wahyu-Nya.
Lain
halnya dengan al-Sya’rawi, menurutnya Jibril as. disebut al-ruh karena
dengan ruh seseorang akan hidup dan para malaikat itu hidup meskipun tidak memiliki
jasad. Sedangkan al-amin diberikan kepadanya karena dia terpelihara
di sisi Allah swt., terpelihara di sisi al-Qur’an dan terpelihara di sisi Nabi
saw.
Dengan
demikian, mayoritas ulama tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud al-ruh
al-amin dalam ayat tersebut adalah Jibril as. karena hal itu diperkuat
oleh ayat lain dalam QS. al-Baqarah: 97 yang menyebutkan nama Jibril as.
قُلْ
مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِجِبْرِيلَ فَإِنَّهُ نزلَهُ عَلَى قَلْبِكَ بِإِذْنِ
اللَّهِ…
Terjemahnya:
“Katakanlah: “Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, Maka Jibril itu Telah
menurunkannya (Al Quran) ke dalam hatimu dengan seizin Allah”.
Ayat
lain yang menjelaskan tentang malaikat disifati dengan amanah adalah QS.
al-Takwir: 21-22:
مُطَاعٍ
ثَمَّ أَمِينٍ. وَمَا صَاحِبُكُمْ بِمَجْنُونٍ.
Terjemahnya:
“Yang ditaati di sana (di alam malaikat) lagi dipercaya. Dan temanmu (Muhammad)
itu bukanlah sekali-kali orang yang gila”. Ayat tersebut di atas dan ayat
sebelumnya menjelaskan beberapa sifat mulya malaikat Jibril as. di antaranya
karim mulya karena diberikan tugas yang paling mulya yaitu menyampaikan wahyu
kepada para nabi, zi quwwah memiliki kekuatan dalam menjaga dan dijauhkan
dari kelupaan dan kesalahan, zi al-‘arsy makin mempunyai posisi yang
tinggi di sisi Allah swt. karena dia diberi apa yang dimintanya, muta’in yang
ditaati di alam malaikat karena pendapatnya menjadi rujukan para
malaikat, dipercaya membawakan wahyu dan risalah Allah swt. terhadap para
nabi-Nya.
Dari
kedua ayat tersebut, diketahui bahwa amanah bukan saja diberikan kepada
manusia, akan tetapi amanah juga dapat disematkan kepada para malaikat,
khususnya malaikat Jibril as. selaku penghubung Allah swt. dengan para
nabi-Nya.
3. Jin
Jin
meskipun sering dikonotasikan sebagai makhluk durhaka, akan tetapi dalam
al-Qur’an sebagian jin ada yang beriman kepada Allah swt. bahkan ‘Ifrit dari
golongan jin yang hidup pada masa nabi Sulaiman berkenan membantu nabi Sulaiman
dengan berusaha memindahkan singgasana ratu Balqis, sebagaimana dalam
QS. al-Naml: 39:
قَالَ
عِفْريتٌ مِنَ الْجِنِّ أَنَا آَتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَنْ تَقُومَ مِنْ مَقَامِكَ
وَإِنِّي عَلَيْهِ لَقَوِيٌّ أَمِينٌ.
Terjemahnya:
“Berkata ‘Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin: “Aku akan datang kepadamu
dengan membawa singgsana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu;
Sesungguhnya Aku benar-benar Kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya”. Ayat
tersebut menegaskan tentang kemampuan ‘Ifrit memindahkan singgasana ratu Balqis
pada saat itu dalam waktu singkat. ‘Ifrit juga menjamin bahwa dia dapat
dipercaya dalam melaksanakan tugas tersebut.
Al-Mawardi
dalam tafsirnya menjalaskan bahwa yang dimaksud dengan al-amin dalam
ayat tersebut ada tiga pendapat, yaitu: 1) dia dapat dipercaya menjaga permata
dan berlian yang terdapat dalam istana tersebut, 2) dia dapat dipercaya
mendatangkan istana tersebut dan tidak menggantinya dengan istana lain, 3) dia
dapat dipercaya menjaga kehormatan ratu balqis.
Namun
mayoritas ulama tafsir menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan al-amin dalam
ayat tersebut adalah jaminan kepercayaan yang diberikan oleh ‘Ifrit untuk
membawa istana seperti sedia kala tanpa ada perubahan, pengurangan atau
penambahan, khususnya yang terkait dengan isi singgasana.
4. Manusia
Dalam
al-Qur’an, manusia satu-satunya makhluk yang dicela karena menerima amanah dari
Allah swt. pada saat makhluk lain menolaknya ketika ditawarkan kepadanya.
إِنَّا
عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ
أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ
ظَلُومًا جَهُولًا.
Terjemahnya:
“Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan
gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka
khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”. Al-Biqa’i ketika
menafsirkan ayat di atas mengatakan bahwa yang dimaksud al-insan adalah
mayoritas manusia, bukan setiap individu manusia. Oleh karena itu, manusia yang
khianat terhadap amanah jauh lebih banyak dari pada yang memegang amanah,
karena nafsu manusia pada dasarnya penuh dengan kekurangan dan keinginan. Oleh
sebab itu, Allah swt. menyifati manusia dengan zalum jahul agar
manusia tidak sekedar melihat sifatnya yang al-ins/jinak dan
ramah, al-‘isyq/keinginan yang kuat, al-‘aql/akal fikiran
dan al-fahm/pemahaman sehingga seakan tidak memiliki kekurangan.
2.3 Sikap Al-Qur’an terhadap Amanah
Untuk
melihat seberapa penting amanah dalam kehidupan sehari-hari, maka penting
menjelaskan sikap al-Qur’an terhadap amanah. Sikap al-Qur’an ketika menjelaskan
ayat-ayat amanah dapat dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu:
1. Perintah
Menjaga amanah
Banyak
dijumpai dalam al-Qur’an, ayat-ayat yang menyuruh melaksanakan amanah dengan sebaik-baiknya.
Dalam QS. al-Nisa’: 58:
إِنَّ
اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا….
Terjemahnya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya”.
Meskipun
ayat tersebut turun dalam masalah ‘Usman ibn Talhah al-Hujubi tentang kunci Ka’bah
yang diminta oleh al-‘Abbas agar dia yang memegangnya, kemudian Allah swt,
menurunkan ayat tersebut sebagai perintah agar memberikan amanah kepada orang
yang berhak. Namun menurut Wahbah al-Zuhaili, ayat tersebut tetap berlaku bagi
setiap orang agar melaksanakan amanah yang menjadi tanggungannya, baik kepada
khalayak maupun kepada individu tertentu.
Pada
ayat lain, meskipun tidak menggunakan fi’il amr/perintah secara langsung
seperti pada ayat di atas, akan tetapi tetap mengandung perintah untuk
melaksanakan amanah karena menggunakan fi’il mudari’ yang
disertai lam amr, seperti dalam QS. al-Baqarah: 283.
فَإِنْ
أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ.
Terjemahnya:
“Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah
yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)”. Dalam ayat yang lain,
al-Qur’an datang dengan menggunakan jumlah ismiyah, agar mengandung makna bahwa
penjagaan terhadap amanah tidak terikat dengan waktu, akan tetapi amanah
merupakan sifat orang-orang yang beriman, seperti dalam QS. al-Mu’minun: 8
وَالَّذِينَ
هُمْ لأمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ.
Terjemahnya:
“Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. Oleh
karena itu, dalam beberapa hadis Rasulullah saw. dijelaskan bahwa salah satu
karakter orang munafik adalah tidak amanah.
آيَةُ
الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا
اؤْتُمِنَ خَانَ.
Artinya:
“Tanda-tanda orang munafik ada tiga. Jika dia berbicara maka dia berdusta, jika
dia berjanji maka dia ingkari dan jika dia dipercaya dia berkhianat”.
Bahkan
lebih dari itu, Rasulullah saw. pernah mengungkapkan bahwa orang yang tidak
memegang amanah berarti dia tergolong orang yang tidak beriman.
لاَ
إِيمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَةَ لَهُ ، وَلاَ دِينَ لِمَنْ لاَ عَهْدَ لَهُ.
Artinya:
“Tidak ada keimanan bagi orang yang tidak mempunyai/ melaksanakan amanah, dan
tidak ada agama bagi orang yang tidak melaksanakan janjinya”.
Dari
ketiga ayat di atas dengan berbagai redaksi yang digunakan dalam berbagai
bentuk menunjukkan bahwa amanah adalah tanggungjawab yang sangat besar yang
harus dilaksanakan oleh siapapun yang diberi amanah.
2. Larangan
Mengkhianati Amanah
Sebagai
konsekwensi dari kewajiban melaksanakan amanah, maka sudah barang tentu
mengkhianati amanah merupakan hal yang dilarang oleh agama. Salah satu ayat
yang menjelaskan tentang larangan mengkhianati amanah antara lain:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا
أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ.
Terjemahnya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul
(Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang
dipercayakan kepadamu, sedang kamu Mengetahui” (QS. al-Anfa>l: 27).
Dalam
ayat ini dijelaskan bahwa khianat terhadap amanah sama dengan khianat kepada
Allah dan Rasulullah saw. Dengan demikian, diketahui betapa besar posisi amanah
di sisi Allah swt. karena khianat terhadap amanah disejajarkan dengan khianat
kepada Allah swt. dan rasul-Nya.
2.4
Konsep dan Implementasi Amanah dalam Al- Qur’an dan Hadits
1.
Amanah dalam Arti Tanggung Jawab Personal Manusia kepada Allah SWT
Alasan
penolakan alam (bumi, langit dan sebagainya) terhadap amanah (QS.Al-Ahzab: 72)
adalah karena mereka tidak memiliki potensi kebebasan seperti manusia. Padahal
untuk menjalankan amanah diperlukan kebebasan yang diiringi dengan tanggung
jawab. Olehsebabitu, apapun yang dilakukan bumi, langit, gunung terhadap
manusia, walaupun sampai menimbulkan korban jiwa dan harta benda, tetap saja
“benda-benda alam” itu tidak dapat diminta pertanggung jawabannya oleh Allah.
Berbeda dengan manusia. Apapun yang dilakukannya tetap dituntut pertanggung
jawaban. Manusia adalah khalifah fi al-ardh, oleh karena itu manusia
memiliki beban (tugas) untuk memakmurkan bumi (wasta’marakumalardh). Sebuah
tugas yang mahaberat, karena menuntut kesungguhan dan keseriusan kita dalam
menjalankannya. Bahkan tugas ini jauh lebih berat dari melaksanakan ibadah.
Secara sederhana dapat dikatakan sebagai seorang muslim, hidup tidak sekedar
menjalankan ibadah mahdzoh saja, lalu kita merasa nyaman. Hidup sesungguhnya
adalah sebuah perjuangan untuk menegakkan kebaikan. Jadi perbedaan manusia dari
makhluk lain adalah karena manusia telah diberi potensi kebebasan dan akal,
sehingga dengan potensi itu manusia mampu mengenal Rabbnya sendiri, mampu
menemukan petunjuk sendiri, beramal sendiri, dan mencapai Rabbnya sendiri.
Semua yang dilakukan manusia adalah pilihannya sendiri, dengan mempergunakan
semua potensi dalam dirinya, sehingga manusia akan memikul akibat dari
pilihannya itu, dan balasan untuknya sesuai denganamalnya.
2.
Amanah dalam Arti Tanggung Jawab Sosial Manusia kepada Sesama
Dalam
pandangan Islam setiap orang adalah pemimpin, baik itu pemimpin bagi dirinya
sendiri, keluarga, masyarakat maupun yang lainnya. Sebab, manusia adalah
makhluk sosial dan mempunyai tanggung jawab sosial pula. Tentu saja semua itu
akan dimintai pertanggung jawaban.
Rasulullah SAW bersabda:
كلكم راع و كلكم مسؤول عن رعيته (رواه مسلم)
كلكم راع و كلكم مسؤول عن رعيته (رواه مسلم)
Artinya:
”Ketahuilah, setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya.” (H.R. Muslim).
”Ketahuilah, setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya.” (H.R. Muslim).
Fenomena
yang terjadi saat ini adalah seringkali amanah dijadikan sebuah komoditi untuk
meraih kekuasaan atau materi (dunia). Sehingga saat ini banyak sekali orang
yang meminta amanah kepemimpinan dan jabatan, padahal belum tentu orang
tersebut mempunyai kapabilitas untuk menjalankan amanah itu. Rasulullah mengancam
akan hancurnya sebuah bangsa.
قال عليه الصلاة و السلام : إذا ضيعت الأمانة فانتظر الساعة ، قال أبو هريرة : كيف إضاعتها يا رسول الله ؟ قال : إذا أسند الأمر إلى غير أهله فانتظر الساعة (رواه البخاري)
“Bila amanah disia-siakan, maka tunggulah kehancurannya. Dikatakan, bagaimana bentuk penyia-nyiaannya?. Beliau bersabda, “Bila persoalan diserahkan kepada orang yang tidak berkompeten, maka tunggulah kehancurannya”. (H.R. Bukhari).
قال عليه الصلاة و السلام : إذا ضيعت الأمانة فانتظر الساعة ، قال أبو هريرة : كيف إضاعتها يا رسول الله ؟ قال : إذا أسند الأمر إلى غير أهله فانتظر الساعة (رواه البخاري)
“Bila amanah disia-siakan, maka tunggulah kehancurannya. Dikatakan, bagaimana bentuk penyia-nyiaannya?. Beliau bersabda, “Bila persoalan diserahkan kepada orang yang tidak berkompeten, maka tunggulah kehancurannya”. (H.R. Bukhari).
Amanah
menempati posisi ‘strategis’ dalam syariat Islam.Rasulullah saw sendiri mendapat
gelar Al Amin (yang bisadipercaya). Amanah menjadi salah satu pembeda kaum
muslim dengan kaum munafik. Sebagaimana sabda Rasulullah dari Abu Hurairah:
آية المنافق ثلاث :- إذا حدث كذب ، وإذا أوعد أخلف ، وإذا أؤتمن خان (متفق عليه)
“Tanda-tanda munafik itu ada tiga: apabila bicara, dia dusta; apabila berjanji, dia ingkari; dan apabila dipercaya (amanah), dia berkhianat”. (HadistSohih). Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah memperingatkan umat Islam agar tidak sembarangan memberikan amanah (kepercayaan) dalam hadits yang artinya: Barang siapa yang mengangkat seseorang (untuk suatu jabatan) karena semata-mata hubungan kekerabatan dan kedekatan, sementara masih ada orang yang lebih tepat dan ahli dari padanya, maka sesungguhnya dia telah melakukan pengkhianatan terhadap Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang beriman”. (H.R. al-Hakim).
آية المنافق ثلاث :- إذا حدث كذب ، وإذا أوعد أخلف ، وإذا أؤتمن خان (متفق عليه)
“Tanda-tanda munafik itu ada tiga: apabila bicara, dia dusta; apabila berjanji, dia ingkari; dan apabila dipercaya (amanah), dia berkhianat”. (HadistSohih). Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah memperingatkan umat Islam agar tidak sembarangan memberikan amanah (kepercayaan) dalam hadits yang artinya: Barang siapa yang mengangkat seseorang (untuk suatu jabatan) karena semata-mata hubungan kekerabatan dan kedekatan, sementara masih ada orang yang lebih tepat dan ahli dari padanya, maka sesungguhnya dia telah melakukan pengkhianatan terhadap Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang beriman”. (H.R. al-Hakim).
Dengan
demikian, meminta jabatan (amanah) sebagai pemimpin merupakan perbuatan yang
dicela. Amanah akan menjadi penyesalan di akhirat kelak. Betapa tidak, jika
seorang yang mendapat amanah tidak menjalankan dengan baik, mengingkari
janjinya dan menipu saudaranya maka ia diharamkan masuk surga. Rasulullah
mengancam pemimpin yang menghianati dan menyelewengkan amanah yang telah di
bebankan kepadanya dengan ancaman berat.
BAB
3
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Berdasarkan
penjelasan yang telah diuraikan sebelumnya, dapat dibuat beberapa poin-poin
penting sebagai kesimpulan sebagai berikut:
- Amanah
adalah kepercayaan yang diberikan oleh Allah swt. atau makhluk lain untuk
dilaksanakan oleh orang yang diberi amanah, baik dari kalangan malaikat,
jin dan manusia, atau bahkan alam semesta. Namun karena amanah sangat
berat dilaksanakan dan dijaga sehingga harus diberikan kepada orang yang
profesional di bidang tersebut.
- Amanah
dilihat dari segi objek yang mendapatkan amanah, dapat diklasifikasi dalam
beberapa bagian, yaitu amanah bagi para nabi dan hal tersebut yang paling
banyak disebutkan dalam al-Qur’an karena amanah merupakan sifat wajib bagi
para rasul, amanah bagi malaikat, khususnya pembawa wahyu yaitu Jibril
as., amanah bagi jin yang hidup pada masa Nabi Sulaiman, amanah bagi
manusia secara umum dalam melaksanakan hal-hal yang terkait dengan
kewajiban kepada Allah swt., sesama manusia dan kepada dirinya sendiri,
bahkan ada amanah yang diberikan kepada wilayah/kampung yaitu kota Mekah.
- Amanah
juga dapat dikelompokkan dalam dua bagian, yaitu amanah dalam bentuk
pekerjaan yang mencakup semua bentuk pekerjaan yang dipercayakan kepada
seseorang, baik dari Allah swt. maupun dari sesama manusia. Dan amanah
dalam bentuk hukum yang sebenarnya juga merupakan pekerjaan, akan tetapi
khusus disebutkan karena menjadi asas pemerintahan yang Islami.
- Sikap
al-Qur’an terhadap amanah terlihat dari perintah Allah swt. kepada manusia
untuk menunaikan amanah tersebut. Perintah tersebut menggunakan fi’il
amr, fi’il mudari’ dan isim yang menunjukkan betapa amanah
tersebut harus dijaga dan dilaksanakan, bahkan al-Qur’an tidak cukup
sekedar memerintahkan akan tetapi juga melarang khianat terhadap amanah, bahkan
khianat terhadap amanah sejajar dengan khianat terhadap Allah dan
rasul-Nya.
3.2
Implikasi
Amanah
sangat penting posisinya dalam kehidupan dunia, karena tanpa amanah berbagai
macam aturan, undang-undang dan sebagainya tidak dapat terlaksana dengan baik.
Oleh karena itu, wajarlah jika Allah memberikan amanah sebagai suatu bentuk
ketaatan. Amanah tidak hanya terkait dengan aspek diniyah seperti jabatan dan
kekuasaan tapi juga terkait dengan aspek ukhrawi seperti ibadah.
Hal
ini juga terkait dengan kondisi masa sekarang, yang mana sebagian besar orang
mengabaikan amanah. Mereka tidak menyadari apa makna dan hakekat amanah serta
posisi amanah yang begitu urgen dalam mengemban tugas sebagai khalifah fi
al-ard.
DAFTAR
PUSTAKA
‘Asyur,
Muhammad Tahir ibn. al-Tahrir wa
al-Tanwir. Tunis: al-Dar al-Tunisiyah li al-Nasyr, 1984 M.
Al-Alusi,
Abu al-Fadl Syihab al-Din Mahmud. Ruh
al-Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an al-‘Azim wa al-Sab’ al-Masani. Beirut:
Dar Ihya’ al-Turas al-Arabi, t.th.
Al-Andalusi,
Abu Hayyan Muhammad ibn Yusuf. al-Bahr
al-Muhit. Cet. I; Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1413 H.1993 M.
Al-Azdi,
Abu Daud Sulaiman ibn al-Asy’as. Sunan
Abi Daud. Suriyah: Dar al-Hadis, 1969 M.
Al-Biqa’i,
Abu al-Hasan Burhan al-Din Ibrahim ibn ‘Umar. Nazm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar. al-Qahirah: Dar
al-Kitab al-Islami, t.th.
Al-Bukhari,
Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Isma’il. Sahih
al-Bukhari. Cet. III; Beirut: Dar Ibn Kasir, 1407 H.1987 M.
Al-Dimasyqi,
Abu al-Fida’ Isma’il ibn Kasir. Tafsir
al-Qur’an al-‘Azim. Cet. I; al-Qahirah: al-Faruq al-Khadasiyah li
al-Tiba’ah, 1421 H.2000 M.
Al-Kafumi,
Abu al-Baqa’ Ayyub ibn Musa al-Husaini. Mu’jam fi al-Mustalahat wa al-Furuq al-Lugawiyah. Beirut:
Muassasah al-Risalah, 1419 H.1998 M.
Al-Maragi,
Ahmad Mustafa. Tafsir al-Maragi. Cet.
I; Mesir: Mustafa al-Babi al-Halibi wa Auladih, 1365 H.1946 M.
Al-Mawardi,
Abu al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad. al-Nukat
wa al-‘Uyun. CD-ROM al-Maktabah al-Syamilah.
Al-Naisaburi,
Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj. Sahih
Muslim. Beirut: Dar Ihya’ al-Turas al-‘Arabi, t.th.
Al-Qurtubi,
Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Ahmad Syams al-Din. al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an. Cet. II; al-Qahirah: Dar al-Kutub
al-Misriyyah, 1384 H.1964 M.
Al-Razi,
Muhammad Fakhr al-Din. Mafatih
al-Gaib. Cet. I; Beirut: Dar al-Fikr, 1401 H.1981 M.
Al-Sya’rawi,
Muhammad Mutawalli. Tafsir
al-Sya’rawi. al-Azhar: Majma’ al-Buhus al-Islamiyah, 1991 M.
Al-Tabari,
Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir. Jami’
al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an. Cet. I; Beirut: Muassasah al-Risalah,
1420 H.2000 M.
Al-Wahidi,
Abu al-Husain ‘Ali ibn Ahmad. Asbab
al-Nuzul. Cet. II; al-Mamlakah al-Sa’udiyah: Dar al-Islah, 1412 H.1992
M.
Al-Zuhaili,
Wahbah ibn Mustafa. al-Tafsir
al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj. Cet. II; Damsyiq: Dar
al-Fikr al-Mu’asir, 1418 H.
Hambal,
Abu ‘Abdillah Ahmad ibn Muhammad ibn. Musnad
Ahmad ibn Hambal. Cet. I; Beirut: ‘Alam al-Kutub, 1419 H.1998 M.
Muslim,
Mustafa. Mabahis fi al-Tafsir
al-Maudu’i. Dimasyq: Dar al-Qalam, 1410 H.1989 M.
nazerodien.blogspot.com/konsep-amanah-dalam-al-quran-dan.htm/
Rida,
Muhammad Rasyid ibn ‘Ali. Tafsir
al-Manar. Mesir: al-Haiah al-Misriyyah al-‘Ammah li al-Kitab, 1990 M.
Tim
Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus
Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional, 2008.
Yayasan
Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, al-Qur’an dan Terjemahnya. al-Madinah al-Munawwarah: Majma’
al-Malik Fahd, 1418 H.
Zakariya,
Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin. Mu’jam
Maqayis al-Lugah. Beirut: Dar al-Fikr, t.th.