Bagian
1 : Panas Matahari dan Sebuah Nama
Aku seorang gadis berusia 26
tahun. Baiklah, harus ku mulai dari mana cerita ini? Karena cerita ini
terdengar klasik. Aku hanya berusaha mencurahkannya. Aku tidak mengharapkan
semuanya membaca cerita ini lalu menceritakannya kembali ke orang lain.
Perlu aku beritahu, cerita ini
sangat rahasia. Jadi kuharap, hanya kalian yang membacanya yang mengetahuinya.
Buku diary ini akan ku baca lagi. Akan ku baca, sekali lagi.
Aku akan memulainya. Mungkin dari
saat itu? Ya, mungkin.
Saat itu udara sangat panas. Aku
dengan seragam SMP-ku yang penuh keringat, menuju sebuah toko minuman. Aku
membeli air mineral dan beberapa permen. Terdengar suara di sebelahku, “Aku
membeli 3 permen. Dapatkah aku mendapatkan kembaliannya sekarang? Aku sangat
terburu-buru”.
Aku menatapnya, dia seorang anak
laki-laki, dia sepertinya satu sekolah denganku. Seragamnya, sama sepertiku.
Keringatnya turun dari keningnya. Aku sama sekali tidak merasa jijik, malah aku
anggap itu keren. Pria penuh semangat.
Ibu pemilik toko memberikannya
apa yang ia pinta, aku masih menatapnya.
Ah, hentikan!! Tatapanku pasti
membuatnya jijik sampai-sampai ia mengkerutkan dahinya. Tapi, dia benar-benar
keren. Aku masih membawa air mineral yang ku beli, bahkan aku belum
membayarnya. Sebentar, sebentar saja aku ingin memperhatikannya.
Dia pergi. Dia berlari menuju teman-temannya
yang menunggu. Namanya Galih. Bagaimana aku tahu? Tentu saja, ia dipanggil
temannya. Kurasa, aku harus berterima kasih kepada teman yang memanggil namanya.
Aku tau namanya, ia Galih.
Bagian
2 : Eskrim Cokelat dan Kiamat
Hari ini guru matematika sangat
menakutkan. Kami sekelas tidak mengerjakan PR yang beliau berikan 2 minggu
lalu. Sungguh, PR itu terlupakan oleh kami.
Menyebalkan!
Ami, temanku yang sangat feminim
berlari kecil ke arahku di koridor. Ia terlihat ditegur oleh seorang guru.
Kasihan, mungkin nanti akan aku semangati, karena bagaimanapun Ami sangat
lemah, ia mudah menangis. Aku masih ingat minggu lalu ia dipanggil maju ke
depan untuk menyelesaikan soal biologi dan ia menangis sesegukan karena tidak
dapat menyelesaikannya. Akhirnya, ia diperbolehkan duduk karena aku yang
menggantikan.
“Ami, kau tak apa?” mungkin ini
pertanyaan bodoh, tentu saja tidak. Ya, paling tidak, aku harus menanyakannya untuk
memastikan.
“Ya, kau tahu tadi Pak Dani
menegurku karena aku berlari di koridor. Tapi, Pak Dani harusnya tidak
berteriak terlalu kencang, kau tahu, itu membuatku malu, dan— “ ah, dia
menangis. Harusnya aku hanya menyemangatinya, tidak perlu ku tanyakan.
“Ami, lupakan saja. Aku akan beli
eskrim di kantin. Kau mau? Hari ini Ibuku terlihat sangat bahagia sampai-sampai
memberikan uang jajan lebih” ya, beginilah seharusnya.
“ Hmm, terima kasih. Tapi aku
akan bayar sendiri. “ selalu saja ia tahu aku tak benar-benar dapat uang lebih
sebenarnya.
Eskrim rasa cokelat memang sangat
menggiurkan. Aku menikmati panasnya matahari dan eskrim cokelat ini. Apakah ada
yang lebih nikmat dari ini? Eskrimnya mulai meleleh. Aku segera menjilati
pinggirnya agar tak terjatuh. Ami juga sangat menikmatinya.. dan aaahhhh— !!
Pandanganku, pandanganku menghitam.
Kiamatkah? Kurasa, mataku akan tertutup sedikit, sedikit lagi, dan—.
Bagian
3 : Ruang UKS dan Plester yang Jatuh
Kurasa aku baru saja terbangun
dari serangan badai yang mematikan. Dapat ku dengar seseorang memanggil namaku,
“Fransiska, kau sudah sadar? Fransiska?” suara itu sangat menganggu karena
kepalaku sedikit sakit.
“Ah, ya. Kenapa ya? Kok kepalaku
sakit?” aku tak bohong, ini benar-benar sakit. Kucoba kedut-kedutkan tanganku
dibagian belakang kepalaku.
“Aku Galih dari kelas 8.1. Aku
benar-benar minta maaf. Aku tak sengaja, bola itu tak dapat kukendalikan. Aku
sungguh minta maaf?” aku kenal suara ini, aroma ini.
Aku membuka mata dan seorang anak
laki-laki berdiri didepanku dengan wajah takut dan malu. “kau tahu aku?”
“Ya, Fransiska M. Aku tak tahu
apa kepanjangan M-nya. Itu, anu— tanda namamu ada disana, dibajumu”. Mungkin
sekarang ia sudah menganggapku bodoh. Ia menunjuk ke tanda nama diseragamku.
Ah, ya, aku bodoh. Tamat sudah.
“Anu, hmm, aku Galih dari kelas 8.1. Aku benar-benar
minta maaf? Aku sedang bermain bola dan kau disana. Aku benar-benar tak sengaja
mengarahkan bolanya ke arahmu. Sungguh!” matanya seperti orang yang ketakutan
sekaligus malu.
“Ah, ya. Tak apa. Aku terlalu
menikmati eskrim-ku sampai lupa situasi. Salahku juga” sungguh, dia akan
menganggapku super bodoh sekarang. Dan untuk sekali lagi, aku melihat
keringatnya jatuh dari keningnya, menuju pinggir matanya, melewati telinganya,
dan akhirnya ke pipinya. Sepertinya, dia tadi sedang bermain bola. Nafasnya
seperti orang habis berlari. Ia memakai seragam olahraga sekolahku.
Ah! Dia melihatku yang sedang memperhatikan
keringatnya. Mungkin dia akan merasa jijik lagi. Pandanganku benar-benar
menjijikan. Aku bukan pecinta keringat!! Aku hanya menganggap itu keren.
Seperti seseorang yang sangat penuh semangat. Aku menyukai pria penuh semangat.
“Fransiska. Boleh aku memanggilmu begitu? Atau
kau memiliki nama panggilan lain? Apakah itu sopan?” tangannya masih saja
memegang bola. “Lihat, astaga. Keningmu berdarah. Akan kuambilkan plester.
Sebentar, tunggulah disana. Jangan turun dari tempat itu”. Ia menaruh bolanya
dilantai dan mencari-cari plester di kotak P3K.
“Aku tak apa, sungguh.”
Ia menemukan plester itu, tetapi
malah terjatuh. Duh, ceroboh sekali caranya memegang plester. Plesternya
semakin jauh ke bawah tempat tidur. Ia merangkak seperti anak kecil
mengejarnya.
Astaga! Ia kepentok besi tempat
tidur di kolong. Kasihan sekali. Sungguh
anak yang ceroboh ternyata.
“Ah maaf, aku ceroboh sekali”.
Seperti dugaanku, kau memang ceroboh.
Ia membuka plester itu dan
perlahan mendekatiku. Ini benar-benar dekat, sangat mendebarkan. Menaruhnya
perlahan di keningku membuatku benar-benar gugup.
“Ah”
“Maaf, sakit?”
“Tidak, lanjutkan saja”
Ia membuang bekas bungkus plester
ke tempat sampah dan mengambil kembali bolanya dari lantai. “Baiklah, boleh aku
kembali ke lapangan? Kurasa guru sedang mencari bola ini. Hahaha, aku ceroboh
sekali sampai membawa bolanya. Guru UKS tadi sedang mencari wali kelasmu,
mungkin sebentar lagi beliau kembali. Aku kesini diam-diam. Jangan beritahu
ya?” lalu dia pergi dengan senyum yang sangat manis diwajahnya.
Ya ampun, dimana rasa terima
kasihku? Bodohnya! Lain kali akan ku sampaikan. Dan aku masih saja tersenyum-senyum
disini. Benar-benar aku melupakan eskrim tadi. Kemana perginya? Aku masih ingin
memakannya.
Bagian
4 : Petugas Kelas dan Toko Donat
Aku sudah punya beberapa
informasi, pertama namanya adalah Galih, dan kedua ia siswa kelas 8.1. sudah
cukup akurat bukan? Beruntungnya, kami satu sekolah. Mungkin akan sedikit aneh
baginya jika melihatku lewat depan kelasnya karena kelasku tidak searah dengan
kelasnya. Aku hanya ingin melihatnya. Sedikiiiiit saja. Karena sudah lebih dari
seminggu aku tak melihatnya. Paling hanya berpapasan dijalan menuju kantin atau
di koridor, atau saat dia memergokiku memperhatikannya bermain bola di
lapangan. Ah, memalukan! Kami selalu saja bertatapan seperti orang bodoh.
“Siska” guru matematika yang
menakutkan itu memanggilku. Sesuatu seperti aura setan seperti menghampiri dan
semakin dekat saja.
“Ya, pak. Ada yang bisa saya
bantu?” senyum tulus ala siswa kepada guru paling killer di sekolah memang
sudah wajib harus ditunjukkan.
“Saya minta tolong, panggilkan
ketua dan wakil kelas 8.1 ke ruang guru. Hanya mereka yang belum datang
mengambil lembaran kerja” sesekali tangannya membetulkan kaca matanya yang
kerap kali turun. Benar-benar style yang killer.
“Baik pak saya kesana sekarang”.
Seketika guru killer itu jadi guru favoritku. Astaga, apakah beliau itu
cenayang? Bisa saja membaca pikiranku. Sekarang aku memiliki alasan untuk
kesana. Tidak ku sadari, aku berlari
kencang sekali. Alamak, harusnya aku jalan biasa saja. Aku buru-buru merapikan
rambut dan bajuku. Aku sudah berada didepan kelasnya. Ramai sekali. Ya, ini jam
istirahat, tentu saja ramai.
“Anu, permisi. Ketua kelas dan
wakilnya dipanggil oleh Pak Dani keruangannya segera. Siapakah ketua dan
wakilnya?”
“Saya wakilnya. Ketua kelas
sedang tidak masuk karena sakit.” Dia berdiri, mengangkat tangannya, mata kami
bertemu, sejenak aku terkejut.
“Ah, Galih. Ya, baiklah. Aku
pergi dulu. Kau bisa menemui Pak Dani.” Pasti wajahku merah. Sudah pasti. Aku
pergi dari kelas itu.
“Hei, anu, terima kasih. Kau tahu
namaku, tapi tidak adil karena aku tahu namamu dengan tidak sopan. Bisakah
kita?” Tuhan, jangan sampai dia mendengar detak jantungku. Dia berlari keluar
kelas menghampiriku, dengan tangannya yang memegang tanganku sejenak untuk
memanggilku. Sentuhan yang hanya lima detik itu sudah cukup membuatku memerah
seperti kepiting rebus.
“Oh, ya. Tentu saja. Namaku
Fransiska Mi”
“Mi...?”
“Hahaha, aneh bukan?” semoga saja
tertawaku itu terdengar jelas supaya ia tak mendengar suara detak jantung ini.
“Ah, maaf. Aku tidak tahu. Aku
kira kau belum menyelesaikan pengenalanmu. Bisa saja itu Minda, Mirna atau yang
lainnya. Maaf? Tapi menurutku itu tidak aneh. Lebih mirip unik.” “Apakah kau
juga petugas kelas? Bisakah kita kesana sekarang? Kau tahu, Pak Dani itu
benar-benar memiliki tatapan yang tajam kepada siswa yang telat”.
“Bu— bukan. Aku bukan petugas
kelas. Aku hanya kebetulan di minta beliau saja” aku baru menyadari, bulu matanya benar-benar
lentik, ia memiliki lesung pipit yang tidak begitu terlihat. Dan ada tahi lalat
di pinggir keningnya. Sungguh manis.
“Ah, sayang sekali. Aku ingin
sekali menjadi temanmu. Berbicara banyak hal. Sepertinya kau baik.”
Setengah menit kami habiskan
dengan terdiam.
“Galih, apa kau ada acara hari
minggu nanti? Yaa, kau tahu, toko donat Furufuru baru saja buka didepan stasiun
Gurdana. Kupikir, tak ada salahnya mencobanya” aku benar-benar cewek pemberani
sekali. Ibuku pasti akan memarahiku jika tahu aku mengajak laki-laki seperti
ini.
“Yang itu. Aku tidak ada acara.
Baiklah. Jam 4 sore. Aku tunggu depan tokonya. Aku pergi duluan” ia berlari,
menunjukkan lehernya yang tegak, tengkuknya yang menawan, rambutnya yang hanya
seleher. Apa tak apa begini? Lalu ia tersenyum.
“Fransiska, sedang apa kau
disini? Melamun seperti itu. Seperti sedang stres saja. Hahaha” Ami
menghampiriku dengan beberapa kue di tangannya.
Bagian
5 : Putri Kerajaan dan Gaunnya.
Sebentar, bagian ini bukanlah
bagian kelanjutan cerita itu. Aku hanya ingin beritahu kepada para pembaca,
bahwa saat ini aku sedang duduk di sebuah teras. Aku sangat cantik. Kau harus
melihatnya. Bayangkan saja seorang putri kerajaan yang sedang duduk di balkon
istana dengan cantiknya sambil memegang sebuah buku dan meja teh tertata rapih
dipenuhi dengan kue.
Apakah kira-kira sudah cukup jelas untuk membayangkannya?
Gaun yang ku pakai juga benar-benar mahal. Aku benar-benar seorang putri
kerajaan sekarang ini.
Bagian
6 : Donat Cokelat dan Penculikan
Aku datang terlalu cepat. Ini
masih 15 menit lebih awal. Nanti malah terkesan aku sangat ingin sekali datang
bertemu dengannya. Ya, memang benar sih. Tidak adil sekali. Apa seharusnya aku
bersembunyi dulu sampai ia datang lalu aku akan menghampirinya berpura-pura
telat? Bodoh! Nanti ia malah beranggapan aku tidak menghargai waktu.
“Hai, kau datang cepat sekali”
anak laki-laki dengan kemeja mahal dan sepatu model terbaru datang
menghampiriku. Astaga, apakah dia semacam anak orang kaya atau bangsawan?
“Ah, ya. Itu, tadi bus datang
terlalu cepat” rambutku sudah rapih, bukan?
“Benarkah? Heran sekali, biasanya
malah telat. Yasudah, apa kau mau masuk? Aku ingin donatnya” ia berkeringat.
Habis berlari? Dan untuk yang kesekian kalinya, aku melihat keringatnya
mengucur ke pipinya, melewati pinggir telinganya, dari kening itu.
“Fransiska?”
“Ah. Iya, aku juga mau donatnya.
Ayuk” dia memang menawan. Pria penuh semangat.
Kami memilih beberapa donat yang
terlaris di toko itu. Cukup sesak juga, karena tokonya baru saja buka perdana
beberapa hari ini. Memang, donatnya cukup terkenal karena rasanya yang enak. Tidak
sia-sia aku memilih tempat ini. Aku memergoki Galih sedang memilih donat. Ia
terlihat bimbang pada dua donat rasa cokelat, yang satu cokelatnya berada
diluar dan yang satu berada didalam. Sangat menggemaskan. Pada akhirnya ia
memilih kedua donat itu. Harusnya aku sudah tahu akhirnya akan begitu.
“Kau sudah memilihnya?” astaga,
dia membeli banyak sekali donat di nampan itu.
“Kau akan membeli semua itu? Kau
benar-benar menyukainya ya? Hahaha”. Dia tersenyum lebar dan tertawa kecil.
“Aku akan membeli beberapa
minuman juga. Kau duduk saja di sana” ia menunjuk ke arah tempat duduk dekat
taman kecil.
“Baiklah, aku akan membayarnya
nanti. Tolong pesankan aku air mineral saja”.
“Oke”.
Tempat duduk ini benar-benar
sempurna. Heran sekali, seramai ini tapi tempat duduk ini tak ada yang
menempati. Padahal pemandangannya juga sangat bagus.
Galih lama sekali.
15 menit.
25 menit.
40 menit.
Ada apa ini?
Lama sekali.
1 jam.
2 jam.
Astaga, ini benar-benar tak lucu.
Aku mulai mencarinya kemana-mana, dimulai dari ke seluruh toko donat, ke
sekitarnya, hingga ke stasiun depan toko itu. Galih hilang. Haruskah aku
panggilkan polisi? Tapi, ini sangat menakutkan. Apa yang bisa ku lakukan?
Bagaimana jika Galih diculik? Dan itu salahku karena mengajaknya pergi dan
tidak bersamanya. Aku malah membiarkannya pergi sendiri di toko itu. Aku tidak
menemaninya. Aarghh!! Aku tidak ingin terlibat. Aku takut, aku ketakutan.
Sebaiknya aku pulang saja. Ya, aku pulang saja!!
Bagian
7 : Mencari dan Donat yang Tak terbayar
Aku benar-benar ketakutan
kemarin. Tetapi setelah ku pikir-pikir, jahat sekali aku pergi seperti itu. Aku
akan memeriksa apakah ia baik-baik saja atu tidak hari ini. Aku akan ke kelasnya dan melihatnya sendiri
bahwa tak ada penculikan.
Galih tak ada di kelas. Mungkin di
kantin, aku kesana saja.
Galih tak ada juga di kantin.
Mungkin di lapangan, ya, hahaha,
dia kan hobinya bermain bola.
Tak ada.
Dia benar-benar HILANG!!! Ini semua
karena aku, salahku. Harusnya aku bersamanya selalu karena aku yang mengajaknya
pergi. Aku benar-benar sudah mencelakainya. Sekarang aku harus bagaimana? Laporkan
ke polisi? Benarkah sampai harus segitunya?
Pak Dani lewat didepanku.
Pak Dani saja, ya, beliau adalah
guru kami bukan? Sebelum polisi, lebih baik ke Pak Dani.
Aku menghampiri beliau dan
memberitahukan apa yang terjadi. Keringat dingin tak kunjung berhenti mengucur
dari keningku. Beliau mendengarkan, sesekali membetulkan kaca matanya yang
selalu saja turun. Aahh!! Aku tak perduli. Aku terus saja bercerita.
“Fransiska, saya tidak tahu
kemana Galih saat itu. Tapi dapat saya pastikan dia baik-baik saja. Pagi ini,
kami bertemu. Dua minggu lalu ayahnya datang dan meminta surat izin pindah. Sudah
dua minggu ini ayahnya mengurusi surat perpindahan sekolahnya. Dan hari ini,
Galih sudah pindah. Dia baik-baik saja. Tak perlu khawatir” lega, tetapi
hahaha, ini ada apa? Pindah? Kemana? Kenapa? Apakah harus pindah? Kami baru
saja dekat dan berbicara. Kami baru saja menjadi teman yang benar-benar pergi
bersama.
“Ah, baiklah pak. Terima kasih. Maaf
telah menganggu bapak”.
Aku pergi dengan perasaan kacau. Tangan
dan kakiku lemas. Aku harus mencari tempat pijakan agar tak terjatuh. Kemana dia?
Pindah? Apakah ini semacam april mop? Tapi, ini bahkan bukan bulan april. Sungguh
tak lucu.
Aku bahkan belum sempat membayar donat-donat itu. Benar-benar kejam.
Bagian
8 : Lulus dan Meja VIP
Ini tahun ketigaku di SMP. Lucu sekali,
aku begitu muram padahal ini hari kelulusanku. Aku melihat ke lapangan. Berharap
pria yang penuh semangat itu berlari mengejar bola dengan keringatnya yang
mengucur. Tak apa jika ia tak melihatku, hanya saja aku berharap, jika sekali
lagi saja aku melihatnya. Sekali lagi saja. Tapi, kapankah itu?
Ami dan aku berpelukan karena
kelulusan kami. Wajahnya yang imut memang sangat manis. Kami lulus. Dan bulan
depan aku akan menjadi siswi SMA. Waktu cepat sekali berlalu.
Aku pulang.
Aku melewati toko donat Furufuru.
Memandanginya membuatku sakit juga ya. Padahal sudah setahun lebih kejadian itu
berlalu.
“Kryuukk!!” aku lapar.
Kurasa, tak ada salahnya membeli
donat karena lapar.
Aku memesan beberapa donat
cokelat. Aku terpaku melihat donat cokelat. Ada dua jenis, yang satu cokelatnya
berada didalam dan yang satu berada diluar. Dua-duanya sepertinya enak. Aku pesan
keduanya. Aku merasa seperti mirip si penyuka donat itu. Aku memesan air
mineral botol dan duduk di—
Ah, tempat itu. Semakin mengingatkanku
saja. Tak ada yang duduk disana, kenapa ya? Padahal pemandangannya sangat
bagus. Sungguh mengherankan.
Aku duduk disana.
Seorang pelayan toko donat datang
menghampiriku sesaat sebelum aku memakan donat.
“Maaf Nona, tempat ini
dikhususkan hanya untuk tamu yang memesan tempat VIP” astaga aku malu sekali.
“Ah maaf, aku tidak tahu kalau
sekarang tempat ini menjadi tempat VIP atau apalah itu. Aku benar-benar minta
maaf. Aku akan pindah”.
Beberapa tamu seperti
memandangiku, berbicara tentangku. Benar-benar memalukan.
“Maaf Nona, sejak tempat dibuka,
tempat ini memang sudah menjadi tempat pesanan VIP”.
Haaahh? Ah, mungkin dia pegawai
baru. Aku membawa nampanku dan pindah ke meja lainnya, yang tentunya bukan VIP.
Bagian
9 : Kekasih dan Waktu
Aku anak yang rajin. Bagaimana lagi,
tak ada yang harus kukerjakan. Tugasku hanya belajar, bukan? Rasanya ingin
cepat cepat lulus dan bekerja. Menjadi seseorang yang dewasa sepertinya
menarik. Memiliki pekerjaan dan— kekasih.
Apa kabarnya laki-laki itu? Melihat
ke arah lapangan sekolah membuatku sedikit sakit, teringat padanya. Aku tak
bisa benar-benar menyukai yang lain. Aku menyukainya. Ia masih ada di hati ini.
Cinta pertama.
Lupakanlah dia!! Aku tak akan
pernah bisa move on jika seperti ini terus menerus. Bagaimana jika aku harus
menikah? Memiliki kekasih? Tentunya itu akan menyakitkan jika mengetahui
kekasih atau istrinya masih saja memikirkan cinta pertamnya. Lucu, bukan?
Aku sudah berada di kelas 2 SMA. Aku
berada di jurusan bahasa. Entah karena takdir tau bukan, Ami selalu ada disini,
disisiku. Bahkan kami tidak janjian atau semacam rencana akan bersama-sama
setelah lulus. Kami tidak benar-benar seperti persahabatan yang lainnya.
Dan waktu pun berlanjut...
Hingga akhirnya aku lulus SMA...
Bagian
10 : Lesung Pipit dan Hari Minggu
Aku bersama beberapa temanku
pergi keluar bersama-sama. Kami sudah menjadi mahasiswi. Beberapa dari mereka
membawa kekasihnya. Temanku menunjuk toko donat Furufuru. Ya, memang kami
sering kesana. Tempatnya sangat strategis dan dekat dari kampus kami. Kami duduk.
Aku memesan donat cokelat, dua jenis donat cokelat, dan juga air mineral botol.
Kami tertawa-tawa dan membicarakan banyak hal yang sebenarnya tidak penting
untuk dibicarakan.
Seorang pelayan toko donat lewat,
dan astaga! Ia terjatuh. Kopi yang ia bawa mengenai baju salah satu temanku. Temanku
sangat marah karena baju itu mahal (katanya). Pelayan itu tak henti-hentinya
meminta maaf. Temanku cukup galak juga ternyata. Ia meminta pelayan tersebut
untuk ganti rugi atas pakaiannya yang kotor karena kopi itu. Bajunya memang
berwarna putih sih.
Seorang pria datang. Pria berbadan
tegak. Memakai sejenis jas hitam. Sepertinya orang kaya, atau mungkin manager,
mungkin juga pemilik dari toko donat ini. Ia keluar dari pintu pegawai toko. Menghampiri
kami.
Sebentar, aku kenal lesung pipit
yang samar-samar itu.
Aku kenal mata yang memiliki bulu
mata lentik itu.
Aku kenal suara ini, aroma ini. Hanya saja, tak ada
keringat.
“Maafkan pegawai kami. Saya akan
memesankan baju seperti yang Anda miliki. Apakah tak apa jika menunggu sekitar
90 menit? Saya sudah meminta pegawai saya membelikannya. Saya tahu toko
bajunya. Merk Dinonu bukan? Atas gantinya, saya akan menggratiskan pembelian
Anda hari ini”.
Temanku seperti bunga yang layu,
seketika ia tak marah. Malah tersipu.
“Ya, tak apa. Terima kasih”
suaranya yang lantang tak lagi terdengar dari bibir temanku.
“Terima kasih” pria ber-jas itu
pergi sambil senyum kepada kami semua, dan sedikit membungkukkan lehernya untuk
dua detik.
Ia pergi. Aku tahu itu dia. Kenapa
bibirku tak bisa bicara? Panggil namanya, aku tahu namanya! Ia memperlihatkan
punggungnya yang tegak, dan juga tengkuknya yang menawan. Aku tahu, tak salah
lagi. Tapi bibirku tak bisa memanggil namanya. Tanganku menjadi lemas
perlahan-lahan.
“Ga— galih. GALIH” astaga aku
berteriak.
Pria itu membalikkan badannya. Memberikan
senyumnya, membuat lesung pipitnya menjadi terlihat. Dan aku benar, itu dia. Tak
salah lagi.
Aku harus apa sekarang? Senang? Menangis?
Atau marah? Karena ketiganya itulah yang aku rasakan saat itu.
Ia membuka bibirnya “Minggu jam 4
sore. Depan toko donat depan stasiun. Kupikir tak ada salahnya mencoba sekali
lagi, bukan?”. Ia tersenyum lagi, lalu pergi berlalu.
Aku masih berdiri, dengan tangan
dan kaki yang lemas, samar-samar aku mendengar teman-teman memanggil namaku. Aku
tidak percaya ini.
Bagian
11 : Buronan dan Pipa Air
Maaf menganggu untuk para
pembaca, namun ini benar-benar sangat darurat untuk diberitahu. Sekarang ini,
aku sedang menjadi buronan. Aku seperti wanita liar yang dikejar-kejar beberapa
pria ber-jas. Tapi, memang seperti itulah keadaanku sekarang ini. Dan buku ini,
masih di tanganku. Aku masih berusaha membacanya sekali-kali. Sayangnya, tak
ada teh maupun kue yang tertatata rapih di atas meja cantik. Hanya ada pipa air
yang sangat besar yang besar yang menjadi tempat persembunyianku. Menyedihkan sekali
aku ini.