Kamis, 19 Mei 2016

Antara Donat Cokelat, Cinta, dan Sebuah Buku

Bagian 1 : Panas Matahari dan Sebuah Nama

Aku seorang gadis berusia 26 tahun. Baiklah, harus ku mulai dari mana cerita ini? Karena cerita ini terdengar klasik. Aku hanya berusaha mencurahkannya. Aku tidak mengharapkan semuanya membaca cerita ini lalu menceritakannya kembali ke orang lain.

Perlu aku beritahu, cerita ini sangat rahasia. Jadi kuharap, hanya kalian yang membacanya yang mengetahuinya. Buku diary ini akan ku baca lagi. Akan ku baca, sekali lagi.

Aku akan memulainya. Mungkin dari saat itu? Ya, mungkin.

Saat itu udara sangat panas. Aku dengan seragam SMP-ku yang penuh keringat, menuju sebuah toko minuman. Aku membeli air mineral dan beberapa permen. Terdengar suara di sebelahku, “Aku membeli 3 permen. Dapatkah aku mendapatkan kembaliannya sekarang? Aku sangat terburu-buru”.

Aku menatapnya, dia seorang anak laki-laki, dia sepertinya satu sekolah denganku. Seragamnya, sama sepertiku. Keringatnya turun dari keningnya. Aku sama sekali tidak merasa jijik, malah aku anggap itu keren. Pria penuh semangat.

Ibu pemilik toko memberikannya apa yang ia pinta, aku masih menatapnya.
Ah, hentikan!! Tatapanku pasti membuatnya jijik sampai-sampai ia mengkerutkan dahinya. Tapi, dia benar-benar keren. Aku masih membawa air mineral yang ku beli, bahkan aku belum membayarnya. Sebentar, sebentar saja aku ingin memperhatikannya.

Dia pergi. Dia berlari menuju teman-temannya yang menunggu. Namanya Galih. Bagaimana aku tahu? Tentu saja, ia dipanggil temannya. Kurasa, aku harus berterima kasih kepada teman yang memanggil namanya. Aku tau namanya, ia Galih.

Bagian 2 : Eskrim Cokelat dan Kiamat

Hari ini guru matematika sangat menakutkan. Kami sekelas tidak mengerjakan PR yang beliau berikan 2 minggu lalu. Sungguh, PR itu terlupakan oleh kami.  Menyebalkan!

Ami, temanku yang sangat feminim berlari kecil ke arahku di koridor. Ia terlihat ditegur oleh seorang guru. Kasihan, mungkin nanti akan aku semangati, karena bagaimanapun Ami sangat lemah, ia mudah menangis. Aku masih ingat minggu lalu ia dipanggil maju ke depan untuk menyelesaikan soal biologi dan ia menangis sesegukan karena tidak dapat menyelesaikannya. Akhirnya, ia diperbolehkan duduk karena aku yang menggantikan.

“Ami, kau tak apa?” mungkin ini pertanyaan bodoh, tentu saja tidak. Ya, paling tidak, aku harus menanyakannya untuk memastikan.

“Ya, kau tahu tadi Pak Dani menegurku karena aku berlari di koridor. Tapi, Pak Dani harusnya tidak berteriak terlalu kencang, kau tahu, itu membuatku malu, dan— “ ah, dia menangis. Harusnya aku hanya menyemangatinya, tidak perlu ku tanyakan.

“Ami, lupakan saja. Aku akan beli eskrim di kantin. Kau mau? Hari ini Ibuku terlihat sangat bahagia sampai-sampai memberikan uang jajan lebih” ya, beginilah seharusnya.

“ Hmm, terima kasih. Tapi aku akan bayar sendiri. “ selalu saja ia tahu aku tak benar-benar dapat uang lebih sebenarnya.

Eskrim rasa cokelat memang sangat menggiurkan. Aku menikmati panasnya matahari dan eskrim cokelat ini. Apakah ada yang lebih nikmat dari ini? Eskrimnya mulai meleleh. Aku segera menjilati pinggirnya agar tak terjatuh. Ami juga sangat menikmatinya.. dan aaahhhh— !!

Pandanganku, pandanganku menghitam. Kiamatkah? Kurasa, mataku akan tertutup sedikit, sedikit lagi, dan—.

Bagian 3 : Ruang UKS dan Plester yang Jatuh

Kurasa aku baru saja terbangun dari serangan badai yang mematikan. Dapat ku dengar seseorang memanggil namaku, “Fransiska, kau sudah sadar? Fransiska?” suara itu sangat menganggu karena kepalaku sedikit sakit.

“Ah, ya. Kenapa ya? Kok kepalaku sakit?” aku tak bohong, ini benar-benar sakit. Kucoba kedut-kedutkan tanganku dibagian belakang kepalaku.

“Aku Galih dari kelas 8.1. Aku benar-benar minta maaf. Aku tak sengaja, bola itu tak dapat kukendalikan. Aku sungguh minta maaf?” aku kenal suara ini, aroma ini.

Aku membuka mata dan seorang anak laki-laki berdiri didepanku dengan wajah takut dan malu. “kau tahu aku?”

“Ya, Fransiska M. Aku tak tahu apa kepanjangan M-nya. Itu, anu— tanda namamu ada disana, dibajumu”. Mungkin sekarang ia sudah menganggapku bodoh. Ia menunjuk ke tanda nama diseragamku. Ah, ya, aku bodoh. Tamat sudah.

“Anu, hmm,  aku Galih dari kelas 8.1. Aku benar-benar minta maaf? Aku sedang bermain bola dan kau disana. Aku benar-benar tak sengaja mengarahkan bolanya ke arahmu. Sungguh!” matanya seperti orang yang ketakutan sekaligus malu.

“Ah, ya. Tak apa. Aku terlalu menikmati eskrim-ku sampai lupa situasi. Salahku juga” sungguh, dia akan menganggapku super bodoh sekarang. Dan untuk sekali lagi, aku melihat keringatnya jatuh dari keningnya, menuju pinggir matanya, melewati telinganya, dan akhirnya ke pipinya. Sepertinya, dia tadi sedang bermain bola. Nafasnya seperti orang habis berlari. Ia memakai seragam olahraga sekolahku.

Ah! Dia melihatku yang sedang memperhatikan keringatnya. Mungkin dia akan merasa jijik lagi. Pandanganku benar-benar menjijikan. Aku bukan pecinta keringat!! Aku hanya menganggap itu keren. Seperti seseorang yang sangat penuh semangat. Aku menyukai pria penuh semangat.

 “Fransiska. Boleh aku memanggilmu begitu? Atau kau memiliki nama panggilan lain? Apakah itu sopan?” tangannya masih saja memegang bola. “Lihat, astaga. Keningmu berdarah. Akan kuambilkan plester. Sebentar, tunggulah disana. Jangan turun dari tempat itu”. Ia menaruh bolanya dilantai dan mencari-cari plester di kotak P3K.

“Aku tak apa, sungguh.”

Ia menemukan plester itu, tetapi malah terjatuh. Duh, ceroboh sekali caranya memegang plester. Plesternya semakin jauh ke bawah tempat tidur. Ia merangkak seperti anak kecil mengejarnya.

Astaga! Ia kepentok besi tempat tidur di kolong. Kasihan sekali.  Sungguh anak yang ceroboh ternyata.

“Ah maaf, aku ceroboh sekali”. Seperti dugaanku, kau memang ceroboh.
Ia membuka plester itu dan perlahan mendekatiku. Ini benar-benar dekat, sangat mendebarkan. Menaruhnya perlahan di keningku membuatku benar-benar gugup.

“Ah”

“Maaf, sakit?”

“Tidak, lanjutkan saja”

Ia membuang bekas bungkus plester ke tempat sampah dan mengambil kembali bolanya dari lantai. “Baiklah, boleh aku kembali ke lapangan? Kurasa guru sedang mencari bola ini. Hahaha, aku ceroboh sekali sampai membawa bolanya. Guru UKS tadi sedang mencari wali kelasmu, mungkin sebentar lagi beliau kembali. Aku kesini diam-diam. Jangan beritahu ya?” lalu dia pergi dengan senyum yang sangat manis diwajahnya.

Ya ampun, dimana rasa terima kasihku? Bodohnya! Lain kali akan ku sampaikan. Dan aku masih saja tersenyum-senyum disini. Benar-benar aku melupakan eskrim tadi. Kemana perginya? Aku masih ingin memakannya.

Bagian 4 : Petugas Kelas dan Toko Donat

Aku sudah punya beberapa informasi, pertama namanya adalah Galih, dan kedua ia siswa kelas 8.1. sudah cukup akurat bukan? Beruntungnya, kami satu sekolah. Mungkin akan sedikit aneh baginya jika melihatku lewat depan kelasnya karena kelasku tidak searah dengan kelasnya. Aku hanya ingin melihatnya. Sedikiiiiit saja. Karena sudah lebih dari seminggu aku tak melihatnya. Paling hanya berpapasan dijalan menuju kantin atau di koridor, atau saat dia memergokiku memperhatikannya bermain bola di lapangan. Ah, memalukan! Kami selalu saja bertatapan seperti orang bodoh.

“Siska” guru matematika yang menakutkan itu memanggilku. Sesuatu seperti aura setan seperti menghampiri dan semakin dekat saja.

“Ya, pak. Ada yang bisa saya bantu?” senyum tulus ala siswa kepada guru paling killer di sekolah memang sudah wajib harus ditunjukkan.

“Saya minta tolong, panggilkan ketua dan wakil kelas 8.1 ke ruang guru. Hanya mereka yang belum datang mengambil lembaran kerja” sesekali tangannya membetulkan kaca matanya yang kerap kali turun. Benar-benar style yang killer.

“Baik pak saya kesana sekarang”. Seketika guru killer itu jadi guru favoritku. Astaga, apakah beliau itu cenayang? Bisa saja membaca pikiranku. Sekarang aku memiliki alasan untuk kesana.  Tidak ku sadari, aku berlari kencang sekali. Alamak, harusnya aku jalan biasa saja. Aku buru-buru merapikan rambut dan bajuku. Aku sudah berada didepan kelasnya. Ramai sekali. Ya, ini jam istirahat, tentu saja ramai.

“Anu, permisi. Ketua kelas dan wakilnya dipanggil oleh Pak Dani keruangannya segera. Siapakah ketua dan wakilnya?”

“Saya wakilnya. Ketua kelas sedang tidak masuk karena sakit.” Dia berdiri, mengangkat tangannya, mata kami bertemu, sejenak aku terkejut.

“Ah, Galih. Ya, baiklah. Aku pergi dulu. Kau bisa menemui Pak Dani.” Pasti wajahku merah. Sudah pasti. Aku pergi dari kelas itu.

“Hei, anu, terima kasih. Kau tahu namaku, tapi tidak adil karena aku tahu namamu dengan tidak sopan. Bisakah kita?” Tuhan, jangan sampai dia mendengar detak jantungku. Dia berlari keluar kelas menghampiriku, dengan tangannya yang memegang tanganku sejenak untuk memanggilku. Sentuhan yang hanya lima detik itu sudah cukup membuatku memerah seperti kepiting rebus.

“Oh, ya. Tentu saja. Namaku Fransiska Mi”

“Mi...?”

“Hahaha, aneh bukan?” semoga saja tertawaku itu terdengar jelas supaya ia tak mendengar suara detak jantung ini.

“Ah, maaf. Aku tidak tahu. Aku kira kau belum menyelesaikan pengenalanmu. Bisa saja itu Minda, Mirna atau yang lainnya. Maaf? Tapi menurutku itu tidak aneh. Lebih mirip unik.” “Apakah kau juga petugas kelas? Bisakah kita kesana sekarang? Kau tahu, Pak Dani itu benar-benar memiliki tatapan yang tajam kepada siswa yang telat”.

“Bu— bukan. Aku bukan petugas kelas. Aku hanya kebetulan di minta beliau saja”  aku baru menyadari, bulu matanya benar-benar lentik, ia memiliki lesung pipit yang tidak begitu terlihat. Dan ada tahi lalat di pinggir keningnya. Sungguh manis.

“Ah, sayang sekali. Aku ingin sekali menjadi temanmu. Berbicara banyak hal. Sepertinya kau baik.”

Setengah menit kami habiskan dengan terdiam.

“Galih, apa kau ada acara hari minggu nanti? Yaa, kau tahu, toko donat Furufuru baru saja buka didepan stasiun Gurdana. Kupikir, tak ada salahnya mencobanya” aku benar-benar cewek pemberani sekali. Ibuku pasti akan memarahiku jika tahu aku mengajak laki-laki seperti ini.

“Yang itu. Aku tidak ada acara. Baiklah. Jam 4 sore. Aku tunggu depan tokonya. Aku pergi duluan” ia berlari, menunjukkan lehernya yang tegak, tengkuknya yang menawan, rambutnya yang hanya seleher. Apa tak apa begini? Lalu ia tersenyum.

“Fransiska, sedang apa kau disini? Melamun seperti itu. Seperti sedang stres saja. Hahaha” Ami menghampiriku dengan beberapa kue di tangannya.

Bagian 5 : Putri Kerajaan dan Gaunnya.

Sebentar, bagian ini bukanlah bagian kelanjutan cerita itu. Aku hanya ingin beritahu kepada para pembaca, bahwa saat ini aku sedang duduk di sebuah teras. Aku sangat cantik. Kau harus melihatnya. Bayangkan saja seorang putri kerajaan yang sedang duduk di balkon istana dengan cantiknya sambil memegang sebuah buku dan meja teh tertata rapih dipenuhi dengan kue.

Apakah kira-kira sudah cukup jelas untuk membayangkannya? Gaun yang ku pakai juga benar-benar mahal. Aku benar-benar seorang putri kerajaan sekarang ini.

Bagian 6 : Donat Cokelat dan Penculikan

Aku datang terlalu cepat. Ini masih 15 menit lebih awal. Nanti malah terkesan aku sangat ingin sekali datang bertemu dengannya. Ya, memang benar sih. Tidak adil sekali. Apa seharusnya aku bersembunyi dulu sampai ia datang lalu aku akan menghampirinya berpura-pura telat? Bodoh! Nanti ia malah beranggapan aku tidak menghargai waktu.

“Hai, kau datang cepat sekali” anak laki-laki dengan kemeja mahal dan sepatu model terbaru datang menghampiriku. Astaga, apakah dia semacam anak orang kaya atau bangsawan?

“Ah, ya. Itu, tadi bus datang terlalu cepat” rambutku sudah rapih, bukan?
“Benarkah? Heran sekali, biasanya malah telat. Yasudah, apa kau mau masuk? Aku ingin donatnya” ia berkeringat. Habis berlari? Dan untuk yang kesekian kalinya, aku melihat keringatnya mengucur ke pipinya, melewati pinggir telinganya, dari kening itu.

“Fransiska?”

“Ah. Iya, aku juga mau donatnya. Ayuk” dia memang menawan. Pria penuh semangat.

Kami memilih beberapa donat yang terlaris di toko itu. Cukup sesak juga, karena tokonya baru saja buka perdana beberapa hari ini. Memang, donatnya cukup terkenal karena rasanya yang enak. Tidak sia-sia aku memilih tempat ini. Aku memergoki Galih sedang memilih donat. Ia terlihat bimbang pada dua donat rasa cokelat, yang satu cokelatnya berada diluar dan yang satu berada didalam. Sangat menggemaskan. Pada akhirnya ia memilih kedua donat itu. Harusnya aku sudah tahu akhirnya akan begitu.

“Kau sudah memilihnya?” astaga, dia membeli banyak sekali donat di nampan itu.

“Kau akan membeli semua itu? Kau benar-benar menyukainya ya? Hahaha”. Dia tersenyum lebar dan tertawa  kecil.

“Aku akan membeli beberapa minuman juga. Kau duduk saja di sana” ia menunjuk ke arah tempat duduk dekat taman kecil.

“Baiklah, aku akan membayarnya nanti. Tolong pesankan aku air mineral saja”.

 “Oke”.

Tempat duduk ini benar-benar sempurna. Heran sekali, seramai ini tapi tempat duduk ini tak ada yang menempati. Padahal pemandangannya juga sangat bagus.

Galih lama sekali.

15 menit.

25 menit.

40 menit.

Ada apa ini?

Lama sekali.

1 jam.

2 jam.

Astaga, ini benar-benar tak lucu. Aku mulai mencarinya kemana-mana, dimulai dari ke seluruh toko donat, ke sekitarnya, hingga ke stasiun depan toko itu. Galih hilang. Haruskah aku panggilkan polisi? Tapi, ini sangat menakutkan. Apa yang bisa ku lakukan? Bagaimana jika Galih diculik? Dan itu salahku karena mengajaknya pergi dan tidak bersamanya. Aku malah membiarkannya pergi sendiri di toko itu. Aku tidak menemaninya. Aarghh!! Aku tidak ingin terlibat. Aku takut, aku ketakutan. Sebaiknya aku pulang saja. Ya, aku pulang saja!!

Bagian 7 : Mencari dan Donat yang Tak terbayar

Aku benar-benar ketakutan kemarin. Tetapi setelah ku pikir-pikir, jahat sekali aku pergi seperti itu. Aku akan memeriksa apakah ia baik-baik saja atu tidak hari ini.  Aku akan ke kelasnya dan melihatnya sendiri bahwa tak ada penculikan.

Galih tak ada di kelas. Mungkin di kantin, aku kesana saja.

Galih tak ada juga di kantin.

Mungkin di lapangan, ya, hahaha, dia kan hobinya bermain bola.

Tak ada.

Dia benar-benar HILANG!!! Ini semua karena aku, salahku. Harusnya aku bersamanya selalu karena aku yang mengajaknya pergi. Aku benar-benar sudah mencelakainya. Sekarang aku harus bagaimana? Laporkan ke polisi? Benarkah sampai harus segitunya?

Pak Dani lewat didepanku.

Pak Dani saja, ya, beliau adalah guru kami bukan? Sebelum polisi, lebih baik ke Pak Dani.

Aku menghampiri beliau dan memberitahukan apa yang terjadi. Keringat dingin tak kunjung berhenti mengucur dari keningku. Beliau mendengarkan, sesekali membetulkan kaca matanya yang selalu saja turun. Aahh!! Aku tak perduli. Aku terus saja bercerita.

“Fransiska, saya tidak tahu kemana Galih saat itu. Tapi dapat saya pastikan dia baik-baik saja. Pagi ini, kami bertemu. Dua minggu lalu ayahnya datang dan meminta surat izin pindah. Sudah dua minggu ini ayahnya mengurusi surat perpindahan sekolahnya. Dan hari ini, Galih sudah pindah. Dia baik-baik saja. Tak perlu khawatir” lega, tetapi hahaha, ini ada apa? Pindah? Kemana? Kenapa? Apakah harus pindah? Kami baru saja dekat dan berbicara. Kami baru saja menjadi teman yang benar-benar pergi bersama.

“Ah, baiklah pak. Terima kasih. Maaf telah menganggu bapak”.

Aku pergi dengan perasaan kacau. Tangan dan kakiku lemas. Aku harus mencari tempat pijakan agar tak terjatuh. Kemana dia? Pindah? Apakah ini semacam april mop? Tapi, ini bahkan bukan bulan april. Sungguh tak lucu.

Aku bahkan belum sempat membayar donat-donat itu. Benar-benar kejam.

Bagian 8 : Lulus dan Meja VIP

Ini tahun ketigaku di SMP. Lucu sekali, aku begitu muram padahal ini hari kelulusanku. Aku melihat ke lapangan. Berharap pria yang penuh semangat itu berlari mengejar bola dengan keringatnya yang mengucur. Tak apa jika ia tak melihatku, hanya saja aku berharap, jika sekali lagi saja aku melihatnya. Sekali lagi saja. Tapi, kapankah itu?

Ami dan aku berpelukan karena kelulusan kami. Wajahnya yang imut memang sangat manis. Kami lulus. Dan bulan depan aku akan menjadi siswi SMA. Waktu cepat sekali berlalu.

Aku pulang.

Aku melewati toko donat Furufuru. Memandanginya membuatku sakit juga ya. Padahal sudah setahun lebih kejadian itu berlalu.

“Kryuukk!!” aku lapar.

Kurasa, tak ada salahnya membeli donat karena lapar.

Aku memesan beberapa donat cokelat. Aku terpaku melihat donat cokelat. Ada dua jenis, yang satu cokelatnya berada didalam dan yang satu berada diluar. Dua-duanya sepertinya enak. Aku pesan keduanya. Aku merasa seperti mirip si penyuka donat itu. Aku memesan air mineral botol dan duduk di—

Ah, tempat itu. Semakin mengingatkanku saja. Tak ada yang duduk disana, kenapa ya? Padahal pemandangannya sangat bagus. Sungguh mengherankan.

Aku duduk disana.

Seorang pelayan toko donat datang menghampiriku sesaat sebelum aku memakan donat.

“Maaf Nona, tempat ini dikhususkan hanya untuk tamu yang memesan tempat VIP” astaga aku malu sekali.

“Ah maaf, aku tidak tahu kalau sekarang tempat ini menjadi tempat VIP atau apalah itu. Aku benar-benar minta maaf. Aku akan pindah”.

Beberapa tamu seperti memandangiku, berbicara tentangku. Benar-benar memalukan.

“Maaf Nona, sejak tempat dibuka, tempat ini memang sudah menjadi tempat pesanan VIP”.

Haaahh? Ah, mungkin dia pegawai baru. Aku membawa nampanku dan pindah ke meja lainnya, yang tentunya bukan VIP.

Bagian 9 : Kekasih dan Waktu

Aku anak yang rajin. Bagaimana lagi, tak ada yang harus kukerjakan. Tugasku hanya belajar, bukan? Rasanya ingin cepat cepat lulus dan bekerja. Menjadi seseorang yang dewasa sepertinya menarik. Memiliki pekerjaan dan— kekasih.

Apa kabarnya laki-laki itu? Melihat ke arah lapangan sekolah membuatku sedikit sakit, teringat padanya. Aku tak bisa benar-benar menyukai yang lain. Aku menyukainya. Ia masih ada di hati ini. Cinta pertama.

Lupakanlah dia!! Aku tak akan pernah bisa move on jika seperti ini terus menerus. Bagaimana jika aku harus menikah? Memiliki kekasih? Tentunya itu akan menyakitkan jika mengetahui kekasih atau istrinya masih saja memikirkan cinta pertamnya. Lucu, bukan?

Aku sudah berada di kelas 2 SMA. Aku berada di jurusan bahasa. Entah karena takdir tau bukan, Ami selalu ada disini, disisiku. Bahkan kami tidak janjian atau semacam rencana akan bersama-sama setelah lulus. Kami tidak benar-benar seperti persahabatan yang lainnya.

Dan waktu pun berlanjut...

Hingga akhirnya aku lulus SMA...

Bagian 10 : Lesung Pipit dan Hari Minggu

Aku bersama beberapa temanku pergi keluar bersama-sama. Kami sudah menjadi mahasiswi. Beberapa dari mereka membawa kekasihnya. Temanku menunjuk toko donat Furufuru. Ya, memang kami sering kesana. Tempatnya sangat strategis dan dekat dari kampus kami. Kami duduk. Aku memesan donat cokelat, dua jenis donat cokelat, dan juga air mineral botol. Kami tertawa-tawa dan membicarakan banyak hal yang sebenarnya tidak penting untuk dibicarakan.

Seorang pelayan toko donat lewat, dan astaga! Ia terjatuh. Kopi yang ia bawa mengenai baju salah satu temanku. Temanku sangat marah karena baju itu mahal (katanya). Pelayan itu tak henti-hentinya meminta maaf. Temanku cukup galak juga ternyata. Ia meminta pelayan tersebut untuk ganti rugi atas pakaiannya yang kotor karena kopi itu. Bajunya memang berwarna putih sih.

Seorang pria datang. Pria berbadan tegak. Memakai sejenis jas hitam. Sepertinya orang kaya, atau mungkin manager, mungkin juga pemilik dari toko donat ini. Ia keluar dari pintu pegawai toko. Menghampiri kami.

Sebentar, aku kenal lesung pipit yang samar-samar itu.

Aku kenal mata yang memiliki bulu mata lentik itu.

Aku kenal  suara ini, aroma ini. Hanya saja, tak ada keringat.

“Maafkan pegawai kami. Saya akan memesankan baju seperti yang Anda miliki. Apakah tak apa jika menunggu sekitar 90 menit? Saya sudah meminta pegawai saya membelikannya. Saya tahu toko bajunya. Merk Dinonu bukan? Atas gantinya, saya akan menggratiskan pembelian Anda hari ini”.

Temanku seperti bunga yang layu, seketika ia tak marah. Malah tersipu.
“Ya, tak apa. Terima kasih” suaranya yang lantang tak lagi terdengar dari bibir temanku.

“Terima kasih” pria ber-jas itu pergi sambil senyum kepada kami semua, dan sedikit membungkukkan lehernya untuk dua detik.

Ia pergi. Aku tahu itu dia. Kenapa bibirku tak bisa bicara? Panggil namanya, aku tahu namanya! Ia memperlihatkan punggungnya yang tegak, dan juga tengkuknya yang menawan. Aku tahu, tak salah lagi. Tapi bibirku tak bisa memanggil namanya. Tanganku menjadi lemas perlahan-lahan.

“Ga— galih. GALIH” astaga aku berteriak.

Pria itu membalikkan badannya. Memberikan senyumnya, membuat lesung pipitnya menjadi terlihat. Dan aku benar, itu dia. Tak salah lagi.

Aku harus apa sekarang? Senang? Menangis? Atau marah? Karena ketiganya itulah yang aku rasakan saat itu.

Ia membuka bibirnya “Minggu jam 4 sore. Depan toko donat depan stasiun. Kupikir tak ada salahnya mencoba sekali lagi, bukan?”. Ia tersenyum lagi, lalu pergi berlalu.

Aku masih berdiri, dengan tangan dan kaki yang lemas, samar-samar aku mendengar teman-teman memanggil namaku. Aku tidak percaya ini.

Bagian 11 : Buronan dan Pipa Air

Maaf menganggu untuk para pembaca, namun ini benar-benar sangat darurat untuk diberitahu. Sekarang ini, aku sedang menjadi buronan. Aku seperti wanita liar yang dikejar-kejar beberapa pria ber-jas. Tapi, memang seperti itulah keadaanku sekarang ini. Dan buku ini, masih di tanganku. Aku masih berusaha membacanya sekali-kali. Sayangnya, tak ada teh maupun kue yang tertatata rapih di atas meja cantik. Hanya ada pipa air yang sangat besar yang besar yang menjadi tempat persembunyianku. Menyedihkan sekali aku ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar