Tampilkan postingan dengan label drama. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label drama. Tampilkan semua postingan

Kamis, 19 Mei 2016

Antara Donat Cokelat, Cinta, dan Sebuah Buku

Bagian 1 : Panas Matahari dan Sebuah Nama

Aku seorang gadis berusia 26 tahun. Baiklah, harus ku mulai dari mana cerita ini? Karena cerita ini terdengar klasik. Aku hanya berusaha mencurahkannya. Aku tidak mengharapkan semuanya membaca cerita ini lalu menceritakannya kembali ke orang lain.

Perlu aku beritahu, cerita ini sangat rahasia. Jadi kuharap, hanya kalian yang membacanya yang mengetahuinya. Buku diary ini akan ku baca lagi. Akan ku baca, sekali lagi.

Aku akan memulainya. Mungkin dari saat itu? Ya, mungkin.

Saat itu udara sangat panas. Aku dengan seragam SMP-ku yang penuh keringat, menuju sebuah toko minuman. Aku membeli air mineral dan beberapa permen. Terdengar suara di sebelahku, “Aku membeli 3 permen. Dapatkah aku mendapatkan kembaliannya sekarang? Aku sangat terburu-buru”.

Aku menatapnya, dia seorang anak laki-laki, dia sepertinya satu sekolah denganku. Seragamnya, sama sepertiku. Keringatnya turun dari keningnya. Aku sama sekali tidak merasa jijik, malah aku anggap itu keren. Pria penuh semangat.

Ibu pemilik toko memberikannya apa yang ia pinta, aku masih menatapnya.
Ah, hentikan!! Tatapanku pasti membuatnya jijik sampai-sampai ia mengkerutkan dahinya. Tapi, dia benar-benar keren. Aku masih membawa air mineral yang ku beli, bahkan aku belum membayarnya. Sebentar, sebentar saja aku ingin memperhatikannya.

Dia pergi. Dia berlari menuju teman-temannya yang menunggu. Namanya Galih. Bagaimana aku tahu? Tentu saja, ia dipanggil temannya. Kurasa, aku harus berterima kasih kepada teman yang memanggil namanya. Aku tau namanya, ia Galih.

Bagian 2 : Eskrim Cokelat dan Kiamat

Hari ini guru matematika sangat menakutkan. Kami sekelas tidak mengerjakan PR yang beliau berikan 2 minggu lalu. Sungguh, PR itu terlupakan oleh kami.  Menyebalkan!

Ami, temanku yang sangat feminim berlari kecil ke arahku di koridor. Ia terlihat ditegur oleh seorang guru. Kasihan, mungkin nanti akan aku semangati, karena bagaimanapun Ami sangat lemah, ia mudah menangis. Aku masih ingat minggu lalu ia dipanggil maju ke depan untuk menyelesaikan soal biologi dan ia menangis sesegukan karena tidak dapat menyelesaikannya. Akhirnya, ia diperbolehkan duduk karena aku yang menggantikan.

“Ami, kau tak apa?” mungkin ini pertanyaan bodoh, tentu saja tidak. Ya, paling tidak, aku harus menanyakannya untuk memastikan.

“Ya, kau tahu tadi Pak Dani menegurku karena aku berlari di koridor. Tapi, Pak Dani harusnya tidak berteriak terlalu kencang, kau tahu, itu membuatku malu, dan— “ ah, dia menangis. Harusnya aku hanya menyemangatinya, tidak perlu ku tanyakan.

“Ami, lupakan saja. Aku akan beli eskrim di kantin. Kau mau? Hari ini Ibuku terlihat sangat bahagia sampai-sampai memberikan uang jajan lebih” ya, beginilah seharusnya.

“ Hmm, terima kasih. Tapi aku akan bayar sendiri. “ selalu saja ia tahu aku tak benar-benar dapat uang lebih sebenarnya.

Eskrim rasa cokelat memang sangat menggiurkan. Aku menikmati panasnya matahari dan eskrim cokelat ini. Apakah ada yang lebih nikmat dari ini? Eskrimnya mulai meleleh. Aku segera menjilati pinggirnya agar tak terjatuh. Ami juga sangat menikmatinya.. dan aaahhhh— !!

Pandanganku, pandanganku menghitam. Kiamatkah? Kurasa, mataku akan tertutup sedikit, sedikit lagi, dan—.

Bagian 3 : Ruang UKS dan Plester yang Jatuh

Kurasa aku baru saja terbangun dari serangan badai yang mematikan. Dapat ku dengar seseorang memanggil namaku, “Fransiska, kau sudah sadar? Fransiska?” suara itu sangat menganggu karena kepalaku sedikit sakit.

“Ah, ya. Kenapa ya? Kok kepalaku sakit?” aku tak bohong, ini benar-benar sakit. Kucoba kedut-kedutkan tanganku dibagian belakang kepalaku.

“Aku Galih dari kelas 8.1. Aku benar-benar minta maaf. Aku tak sengaja, bola itu tak dapat kukendalikan. Aku sungguh minta maaf?” aku kenal suara ini, aroma ini.

Aku membuka mata dan seorang anak laki-laki berdiri didepanku dengan wajah takut dan malu. “kau tahu aku?”

“Ya, Fransiska M. Aku tak tahu apa kepanjangan M-nya. Itu, anu— tanda namamu ada disana, dibajumu”. Mungkin sekarang ia sudah menganggapku bodoh. Ia menunjuk ke tanda nama diseragamku. Ah, ya, aku bodoh. Tamat sudah.

“Anu, hmm,  aku Galih dari kelas 8.1. Aku benar-benar minta maaf? Aku sedang bermain bola dan kau disana. Aku benar-benar tak sengaja mengarahkan bolanya ke arahmu. Sungguh!” matanya seperti orang yang ketakutan sekaligus malu.

“Ah, ya. Tak apa. Aku terlalu menikmati eskrim-ku sampai lupa situasi. Salahku juga” sungguh, dia akan menganggapku super bodoh sekarang. Dan untuk sekali lagi, aku melihat keringatnya jatuh dari keningnya, menuju pinggir matanya, melewati telinganya, dan akhirnya ke pipinya. Sepertinya, dia tadi sedang bermain bola. Nafasnya seperti orang habis berlari. Ia memakai seragam olahraga sekolahku.

Ah! Dia melihatku yang sedang memperhatikan keringatnya. Mungkin dia akan merasa jijik lagi. Pandanganku benar-benar menjijikan. Aku bukan pecinta keringat!! Aku hanya menganggap itu keren. Seperti seseorang yang sangat penuh semangat. Aku menyukai pria penuh semangat.

 “Fransiska. Boleh aku memanggilmu begitu? Atau kau memiliki nama panggilan lain? Apakah itu sopan?” tangannya masih saja memegang bola. “Lihat, astaga. Keningmu berdarah. Akan kuambilkan plester. Sebentar, tunggulah disana. Jangan turun dari tempat itu”. Ia menaruh bolanya dilantai dan mencari-cari plester di kotak P3K.

“Aku tak apa, sungguh.”

Ia menemukan plester itu, tetapi malah terjatuh. Duh, ceroboh sekali caranya memegang plester. Plesternya semakin jauh ke bawah tempat tidur. Ia merangkak seperti anak kecil mengejarnya.

Astaga! Ia kepentok besi tempat tidur di kolong. Kasihan sekali.  Sungguh anak yang ceroboh ternyata.

“Ah maaf, aku ceroboh sekali”. Seperti dugaanku, kau memang ceroboh.
Ia membuka plester itu dan perlahan mendekatiku. Ini benar-benar dekat, sangat mendebarkan. Menaruhnya perlahan di keningku membuatku benar-benar gugup.

“Ah”

“Maaf, sakit?”

“Tidak, lanjutkan saja”

Ia membuang bekas bungkus plester ke tempat sampah dan mengambil kembali bolanya dari lantai. “Baiklah, boleh aku kembali ke lapangan? Kurasa guru sedang mencari bola ini. Hahaha, aku ceroboh sekali sampai membawa bolanya. Guru UKS tadi sedang mencari wali kelasmu, mungkin sebentar lagi beliau kembali. Aku kesini diam-diam. Jangan beritahu ya?” lalu dia pergi dengan senyum yang sangat manis diwajahnya.

Ya ampun, dimana rasa terima kasihku? Bodohnya! Lain kali akan ku sampaikan. Dan aku masih saja tersenyum-senyum disini. Benar-benar aku melupakan eskrim tadi. Kemana perginya? Aku masih ingin memakannya.

Bagian 4 : Petugas Kelas dan Toko Donat

Aku sudah punya beberapa informasi, pertama namanya adalah Galih, dan kedua ia siswa kelas 8.1. sudah cukup akurat bukan? Beruntungnya, kami satu sekolah. Mungkin akan sedikit aneh baginya jika melihatku lewat depan kelasnya karena kelasku tidak searah dengan kelasnya. Aku hanya ingin melihatnya. Sedikiiiiit saja. Karena sudah lebih dari seminggu aku tak melihatnya. Paling hanya berpapasan dijalan menuju kantin atau di koridor, atau saat dia memergokiku memperhatikannya bermain bola di lapangan. Ah, memalukan! Kami selalu saja bertatapan seperti orang bodoh.

“Siska” guru matematika yang menakutkan itu memanggilku. Sesuatu seperti aura setan seperti menghampiri dan semakin dekat saja.

“Ya, pak. Ada yang bisa saya bantu?” senyum tulus ala siswa kepada guru paling killer di sekolah memang sudah wajib harus ditunjukkan.

“Saya minta tolong, panggilkan ketua dan wakil kelas 8.1 ke ruang guru. Hanya mereka yang belum datang mengambil lembaran kerja” sesekali tangannya membetulkan kaca matanya yang kerap kali turun. Benar-benar style yang killer.

“Baik pak saya kesana sekarang”. Seketika guru killer itu jadi guru favoritku. Astaga, apakah beliau itu cenayang? Bisa saja membaca pikiranku. Sekarang aku memiliki alasan untuk kesana.  Tidak ku sadari, aku berlari kencang sekali. Alamak, harusnya aku jalan biasa saja. Aku buru-buru merapikan rambut dan bajuku. Aku sudah berada didepan kelasnya. Ramai sekali. Ya, ini jam istirahat, tentu saja ramai.

“Anu, permisi. Ketua kelas dan wakilnya dipanggil oleh Pak Dani keruangannya segera. Siapakah ketua dan wakilnya?”

“Saya wakilnya. Ketua kelas sedang tidak masuk karena sakit.” Dia berdiri, mengangkat tangannya, mata kami bertemu, sejenak aku terkejut.

“Ah, Galih. Ya, baiklah. Aku pergi dulu. Kau bisa menemui Pak Dani.” Pasti wajahku merah. Sudah pasti. Aku pergi dari kelas itu.

“Hei, anu, terima kasih. Kau tahu namaku, tapi tidak adil karena aku tahu namamu dengan tidak sopan. Bisakah kita?” Tuhan, jangan sampai dia mendengar detak jantungku. Dia berlari keluar kelas menghampiriku, dengan tangannya yang memegang tanganku sejenak untuk memanggilku. Sentuhan yang hanya lima detik itu sudah cukup membuatku memerah seperti kepiting rebus.

“Oh, ya. Tentu saja. Namaku Fransiska Mi”

“Mi...?”

“Hahaha, aneh bukan?” semoga saja tertawaku itu terdengar jelas supaya ia tak mendengar suara detak jantung ini.

“Ah, maaf. Aku tidak tahu. Aku kira kau belum menyelesaikan pengenalanmu. Bisa saja itu Minda, Mirna atau yang lainnya. Maaf? Tapi menurutku itu tidak aneh. Lebih mirip unik.” “Apakah kau juga petugas kelas? Bisakah kita kesana sekarang? Kau tahu, Pak Dani itu benar-benar memiliki tatapan yang tajam kepada siswa yang telat”.

“Bu— bukan. Aku bukan petugas kelas. Aku hanya kebetulan di minta beliau saja”  aku baru menyadari, bulu matanya benar-benar lentik, ia memiliki lesung pipit yang tidak begitu terlihat. Dan ada tahi lalat di pinggir keningnya. Sungguh manis.

“Ah, sayang sekali. Aku ingin sekali menjadi temanmu. Berbicara banyak hal. Sepertinya kau baik.”

Setengah menit kami habiskan dengan terdiam.

“Galih, apa kau ada acara hari minggu nanti? Yaa, kau tahu, toko donat Furufuru baru saja buka didepan stasiun Gurdana. Kupikir, tak ada salahnya mencobanya” aku benar-benar cewek pemberani sekali. Ibuku pasti akan memarahiku jika tahu aku mengajak laki-laki seperti ini.

“Yang itu. Aku tidak ada acara. Baiklah. Jam 4 sore. Aku tunggu depan tokonya. Aku pergi duluan” ia berlari, menunjukkan lehernya yang tegak, tengkuknya yang menawan, rambutnya yang hanya seleher. Apa tak apa begini? Lalu ia tersenyum.

“Fransiska, sedang apa kau disini? Melamun seperti itu. Seperti sedang stres saja. Hahaha” Ami menghampiriku dengan beberapa kue di tangannya.

Bagian 5 : Putri Kerajaan dan Gaunnya.

Sebentar, bagian ini bukanlah bagian kelanjutan cerita itu. Aku hanya ingin beritahu kepada para pembaca, bahwa saat ini aku sedang duduk di sebuah teras. Aku sangat cantik. Kau harus melihatnya. Bayangkan saja seorang putri kerajaan yang sedang duduk di balkon istana dengan cantiknya sambil memegang sebuah buku dan meja teh tertata rapih dipenuhi dengan kue.

Apakah kira-kira sudah cukup jelas untuk membayangkannya? Gaun yang ku pakai juga benar-benar mahal. Aku benar-benar seorang putri kerajaan sekarang ini.

Bagian 6 : Donat Cokelat dan Penculikan

Aku datang terlalu cepat. Ini masih 15 menit lebih awal. Nanti malah terkesan aku sangat ingin sekali datang bertemu dengannya. Ya, memang benar sih. Tidak adil sekali. Apa seharusnya aku bersembunyi dulu sampai ia datang lalu aku akan menghampirinya berpura-pura telat? Bodoh! Nanti ia malah beranggapan aku tidak menghargai waktu.

“Hai, kau datang cepat sekali” anak laki-laki dengan kemeja mahal dan sepatu model terbaru datang menghampiriku. Astaga, apakah dia semacam anak orang kaya atau bangsawan?

“Ah, ya. Itu, tadi bus datang terlalu cepat” rambutku sudah rapih, bukan?
“Benarkah? Heran sekali, biasanya malah telat. Yasudah, apa kau mau masuk? Aku ingin donatnya” ia berkeringat. Habis berlari? Dan untuk yang kesekian kalinya, aku melihat keringatnya mengucur ke pipinya, melewati pinggir telinganya, dari kening itu.

“Fransiska?”

“Ah. Iya, aku juga mau donatnya. Ayuk” dia memang menawan. Pria penuh semangat.

Kami memilih beberapa donat yang terlaris di toko itu. Cukup sesak juga, karena tokonya baru saja buka perdana beberapa hari ini. Memang, donatnya cukup terkenal karena rasanya yang enak. Tidak sia-sia aku memilih tempat ini. Aku memergoki Galih sedang memilih donat. Ia terlihat bimbang pada dua donat rasa cokelat, yang satu cokelatnya berada diluar dan yang satu berada didalam. Sangat menggemaskan. Pada akhirnya ia memilih kedua donat itu. Harusnya aku sudah tahu akhirnya akan begitu.

“Kau sudah memilihnya?” astaga, dia membeli banyak sekali donat di nampan itu.

“Kau akan membeli semua itu? Kau benar-benar menyukainya ya? Hahaha”. Dia tersenyum lebar dan tertawa  kecil.

“Aku akan membeli beberapa minuman juga. Kau duduk saja di sana” ia menunjuk ke arah tempat duduk dekat taman kecil.

“Baiklah, aku akan membayarnya nanti. Tolong pesankan aku air mineral saja”.

 “Oke”.

Tempat duduk ini benar-benar sempurna. Heran sekali, seramai ini tapi tempat duduk ini tak ada yang menempati. Padahal pemandangannya juga sangat bagus.

Galih lama sekali.

15 menit.

25 menit.

40 menit.

Ada apa ini?

Lama sekali.

1 jam.

2 jam.

Astaga, ini benar-benar tak lucu. Aku mulai mencarinya kemana-mana, dimulai dari ke seluruh toko donat, ke sekitarnya, hingga ke stasiun depan toko itu. Galih hilang. Haruskah aku panggilkan polisi? Tapi, ini sangat menakutkan. Apa yang bisa ku lakukan? Bagaimana jika Galih diculik? Dan itu salahku karena mengajaknya pergi dan tidak bersamanya. Aku malah membiarkannya pergi sendiri di toko itu. Aku tidak menemaninya. Aarghh!! Aku tidak ingin terlibat. Aku takut, aku ketakutan. Sebaiknya aku pulang saja. Ya, aku pulang saja!!

Bagian 7 : Mencari dan Donat yang Tak terbayar

Aku benar-benar ketakutan kemarin. Tetapi setelah ku pikir-pikir, jahat sekali aku pergi seperti itu. Aku akan memeriksa apakah ia baik-baik saja atu tidak hari ini.  Aku akan ke kelasnya dan melihatnya sendiri bahwa tak ada penculikan.

Galih tak ada di kelas. Mungkin di kantin, aku kesana saja.

Galih tak ada juga di kantin.

Mungkin di lapangan, ya, hahaha, dia kan hobinya bermain bola.

Tak ada.

Dia benar-benar HILANG!!! Ini semua karena aku, salahku. Harusnya aku bersamanya selalu karena aku yang mengajaknya pergi. Aku benar-benar sudah mencelakainya. Sekarang aku harus bagaimana? Laporkan ke polisi? Benarkah sampai harus segitunya?

Pak Dani lewat didepanku.

Pak Dani saja, ya, beliau adalah guru kami bukan? Sebelum polisi, lebih baik ke Pak Dani.

Aku menghampiri beliau dan memberitahukan apa yang terjadi. Keringat dingin tak kunjung berhenti mengucur dari keningku. Beliau mendengarkan, sesekali membetulkan kaca matanya yang selalu saja turun. Aahh!! Aku tak perduli. Aku terus saja bercerita.

“Fransiska, saya tidak tahu kemana Galih saat itu. Tapi dapat saya pastikan dia baik-baik saja. Pagi ini, kami bertemu. Dua minggu lalu ayahnya datang dan meminta surat izin pindah. Sudah dua minggu ini ayahnya mengurusi surat perpindahan sekolahnya. Dan hari ini, Galih sudah pindah. Dia baik-baik saja. Tak perlu khawatir” lega, tetapi hahaha, ini ada apa? Pindah? Kemana? Kenapa? Apakah harus pindah? Kami baru saja dekat dan berbicara. Kami baru saja menjadi teman yang benar-benar pergi bersama.

“Ah, baiklah pak. Terima kasih. Maaf telah menganggu bapak”.

Aku pergi dengan perasaan kacau. Tangan dan kakiku lemas. Aku harus mencari tempat pijakan agar tak terjatuh. Kemana dia? Pindah? Apakah ini semacam april mop? Tapi, ini bahkan bukan bulan april. Sungguh tak lucu.

Aku bahkan belum sempat membayar donat-donat itu. Benar-benar kejam.

Bagian 8 : Lulus dan Meja VIP

Ini tahun ketigaku di SMP. Lucu sekali, aku begitu muram padahal ini hari kelulusanku. Aku melihat ke lapangan. Berharap pria yang penuh semangat itu berlari mengejar bola dengan keringatnya yang mengucur. Tak apa jika ia tak melihatku, hanya saja aku berharap, jika sekali lagi saja aku melihatnya. Sekali lagi saja. Tapi, kapankah itu?

Ami dan aku berpelukan karena kelulusan kami. Wajahnya yang imut memang sangat manis. Kami lulus. Dan bulan depan aku akan menjadi siswi SMA. Waktu cepat sekali berlalu.

Aku pulang.

Aku melewati toko donat Furufuru. Memandanginya membuatku sakit juga ya. Padahal sudah setahun lebih kejadian itu berlalu.

“Kryuukk!!” aku lapar.

Kurasa, tak ada salahnya membeli donat karena lapar.

Aku memesan beberapa donat cokelat. Aku terpaku melihat donat cokelat. Ada dua jenis, yang satu cokelatnya berada didalam dan yang satu berada diluar. Dua-duanya sepertinya enak. Aku pesan keduanya. Aku merasa seperti mirip si penyuka donat itu. Aku memesan air mineral botol dan duduk di—

Ah, tempat itu. Semakin mengingatkanku saja. Tak ada yang duduk disana, kenapa ya? Padahal pemandangannya sangat bagus. Sungguh mengherankan.

Aku duduk disana.

Seorang pelayan toko donat datang menghampiriku sesaat sebelum aku memakan donat.

“Maaf Nona, tempat ini dikhususkan hanya untuk tamu yang memesan tempat VIP” astaga aku malu sekali.

“Ah maaf, aku tidak tahu kalau sekarang tempat ini menjadi tempat VIP atau apalah itu. Aku benar-benar minta maaf. Aku akan pindah”.

Beberapa tamu seperti memandangiku, berbicara tentangku. Benar-benar memalukan.

“Maaf Nona, sejak tempat dibuka, tempat ini memang sudah menjadi tempat pesanan VIP”.

Haaahh? Ah, mungkin dia pegawai baru. Aku membawa nampanku dan pindah ke meja lainnya, yang tentunya bukan VIP.

Bagian 9 : Kekasih dan Waktu

Aku anak yang rajin. Bagaimana lagi, tak ada yang harus kukerjakan. Tugasku hanya belajar, bukan? Rasanya ingin cepat cepat lulus dan bekerja. Menjadi seseorang yang dewasa sepertinya menarik. Memiliki pekerjaan dan— kekasih.

Apa kabarnya laki-laki itu? Melihat ke arah lapangan sekolah membuatku sedikit sakit, teringat padanya. Aku tak bisa benar-benar menyukai yang lain. Aku menyukainya. Ia masih ada di hati ini. Cinta pertama.

Lupakanlah dia!! Aku tak akan pernah bisa move on jika seperti ini terus menerus. Bagaimana jika aku harus menikah? Memiliki kekasih? Tentunya itu akan menyakitkan jika mengetahui kekasih atau istrinya masih saja memikirkan cinta pertamnya. Lucu, bukan?

Aku sudah berada di kelas 2 SMA. Aku berada di jurusan bahasa. Entah karena takdir tau bukan, Ami selalu ada disini, disisiku. Bahkan kami tidak janjian atau semacam rencana akan bersama-sama setelah lulus. Kami tidak benar-benar seperti persahabatan yang lainnya.

Dan waktu pun berlanjut...

Hingga akhirnya aku lulus SMA...

Bagian 10 : Lesung Pipit dan Hari Minggu

Aku bersama beberapa temanku pergi keluar bersama-sama. Kami sudah menjadi mahasiswi. Beberapa dari mereka membawa kekasihnya. Temanku menunjuk toko donat Furufuru. Ya, memang kami sering kesana. Tempatnya sangat strategis dan dekat dari kampus kami. Kami duduk. Aku memesan donat cokelat, dua jenis donat cokelat, dan juga air mineral botol. Kami tertawa-tawa dan membicarakan banyak hal yang sebenarnya tidak penting untuk dibicarakan.

Seorang pelayan toko donat lewat, dan astaga! Ia terjatuh. Kopi yang ia bawa mengenai baju salah satu temanku. Temanku sangat marah karena baju itu mahal (katanya). Pelayan itu tak henti-hentinya meminta maaf. Temanku cukup galak juga ternyata. Ia meminta pelayan tersebut untuk ganti rugi atas pakaiannya yang kotor karena kopi itu. Bajunya memang berwarna putih sih.

Seorang pria datang. Pria berbadan tegak. Memakai sejenis jas hitam. Sepertinya orang kaya, atau mungkin manager, mungkin juga pemilik dari toko donat ini. Ia keluar dari pintu pegawai toko. Menghampiri kami.

Sebentar, aku kenal lesung pipit yang samar-samar itu.

Aku kenal mata yang memiliki bulu mata lentik itu.

Aku kenal  suara ini, aroma ini. Hanya saja, tak ada keringat.

“Maafkan pegawai kami. Saya akan memesankan baju seperti yang Anda miliki. Apakah tak apa jika menunggu sekitar 90 menit? Saya sudah meminta pegawai saya membelikannya. Saya tahu toko bajunya. Merk Dinonu bukan? Atas gantinya, saya akan menggratiskan pembelian Anda hari ini”.

Temanku seperti bunga yang layu, seketika ia tak marah. Malah tersipu.
“Ya, tak apa. Terima kasih” suaranya yang lantang tak lagi terdengar dari bibir temanku.

“Terima kasih” pria ber-jas itu pergi sambil senyum kepada kami semua, dan sedikit membungkukkan lehernya untuk dua detik.

Ia pergi. Aku tahu itu dia. Kenapa bibirku tak bisa bicara? Panggil namanya, aku tahu namanya! Ia memperlihatkan punggungnya yang tegak, dan juga tengkuknya yang menawan. Aku tahu, tak salah lagi. Tapi bibirku tak bisa memanggil namanya. Tanganku menjadi lemas perlahan-lahan.

“Ga— galih. GALIH” astaga aku berteriak.

Pria itu membalikkan badannya. Memberikan senyumnya, membuat lesung pipitnya menjadi terlihat. Dan aku benar, itu dia. Tak salah lagi.

Aku harus apa sekarang? Senang? Menangis? Atau marah? Karena ketiganya itulah yang aku rasakan saat itu.

Ia membuka bibirnya “Minggu jam 4 sore. Depan toko donat depan stasiun. Kupikir tak ada salahnya mencoba sekali lagi, bukan?”. Ia tersenyum lagi, lalu pergi berlalu.

Aku masih berdiri, dengan tangan dan kaki yang lemas, samar-samar aku mendengar teman-teman memanggil namaku. Aku tidak percaya ini.

Bagian 11 : Buronan dan Pipa Air

Maaf menganggu untuk para pembaca, namun ini benar-benar sangat darurat untuk diberitahu. Sekarang ini, aku sedang menjadi buronan. Aku seperti wanita liar yang dikejar-kejar beberapa pria ber-jas. Tapi, memang seperti itulah keadaanku sekarang ini. Dan buku ini, masih di tanganku. Aku masih berusaha membacanya sekali-kali. Sayangnya, tak ada teh maupun kue yang tertatata rapih di atas meja cantik. Hanya ada pipa air yang sangat besar yang besar yang menjadi tempat persembunyianku. Menyedihkan sekali aku ini.


Selasa, 17 Mei 2016

CONTOH MAKALAH THE ANALYSIS OF A DOLL HOUSE BY HENDRIK IBSEN

CHAPTER 1
INTRODUCTION
1.1  Background of Study
Etymologically, the Latin word “litteratura” is derived from “littera” (letter), which is the smallest element of alphabetical writing (Mario Klarer, 2004). There are so many parts in literature, and one of them is drama. The word drama itself, which derives from the Greek “draein” (“to do,” “to act”), thereby referring to a performance or representation by actors (Mario Klarer, 2004). A Doll's House (Norwegian: Et dukkehjem; also translated as A Doll House) is a three-act play in prose by Henrik Ibsen. It premiered at the Royal Theatre in Copenhagen, Denmark, on 21 December 1879, having been published earlier that month (en.wikipedia.org). These papers were made for explaining about A Doll’s House, especially about the analyzing.

1.2  Formulation of Problems
In these papers, we analyzed :
a.       the characters and characterization of A Doll’s House’s drama,
b.      the plot, include initial incidient, preliminary event, rising action, climax, falling action, and denouement,
c.       the story organization, theme, genre, conflicts, settings, moral value, and also we looked for the author, Hendrik Ibsen, a little bit about him and the scandals of his drama, A Doll’s House.

1.3  The Objectives of Study
There are several objectives of finishing these papers, there are :
a.       for compliting literature’s task,
b.      for knowing more about A Doll’s House and the author, and
c.       for sharing what we know about this drama and its scandals to others.
1.4  The Significance of Study
By analyzing Hendrik Ibsen’s drama, A Doll’s House, we know how to anylize a drama and also we know that :
a.       he had something to express through his creation,
b.      when he wrote this story, there was something happened in his era, etc.

CHAPTER 2
DISCUSSION
2.1 Characters and Characterizations
There are 10 people in this story, there are :
  1. Torvald Helmer
  2. Nora Helmer
  3. Dr. Rank
  4. Nils Krogstad
  5. Mrs. Linden or Christina
  6. Anna            the servants
  7. Ellen
  8. Ivah
  9. Emmy              the Helmer’s children
  10. Bob
The protagonist in this story is Nora Helmer, while the antagonist character is Torvald Helmer. The tritagonist characters are the rest except Nora Helmer and Torvald Helmer, they are Dr. Rank, Nils Krogstad, Mrs. Linden, Anna, Ellen, Ivah, Emmy and Bob.
Nora Helmer : spendthirft, lovely mother, liar.
  • Spendthrift : Mrs. Linden said “Nora, Nora. Haven’t you learnt reason yet? In our schooldays you were a shocking little spendthrift”. (page 13, act : I)
  • Lovely mother : She and the children play, with laughter and shouting, in the room and the adjacent one to the right. at last Nora hides under the table : the children come rushing in, look for her, but can not find her, hear her half-chocked laughter, rush to the table, lift up the corer and see her. (page 32-33, act : I)
  • Liar : Torvald Helmer said “Oh, what an awful awakening! During all these eight years – she who was my pride and my joy – a hypocrite, a liar – worse, worse – a criminal. Oh! The hideousness of it! Ugh! Ugh! (page 107, act : III)
Torvald Helmer : lovely husband, lovely father.
  • Lovely husband : Torvald said “my little lark mustn’t let her wings droop like that” (page 4, act : I)
  • Lovely father : Torvald said “your duties to your husband and your children” (page 110, act : III)

2.2 Plot
This drama has dramatic or progressive plot, include : exposition, initial incident, rising action, complication, climax, reversal, falling action, resolution, and ending.
  • Exposition : It happened when Nora Helmer just arrived and showed what she bought to her husband and children. And they were talking about how useless the goods and how thriftless she was. She bought goods for preparing christmast eve and christmast day, and Torvald Helmer gave her some money. She loved counting them. Then Dr. Rank came for Torvald and a lady named Christina Linden came for Nora. Mrs. Linden was Nora’s old friend and they were talking about Mrs. Linden’s past and how happy Nora was at the moment. (page 2-25, act I)
  • Initial Incident : There were several incidents that made this story went along. It started when Mrs. Linden came, and then she saw Mr. Krogstad who she knew years ago. Then Dr. Rank came to them and they were talking a little bit about Mr. Krogstad. Nora asked her husband to give a position for Mrs. Linden in his office in a bank and Mrs. Linden got a job. This thing created big problem for Nora Helmer later on. (page 25-30, act I)
  • Rising action : Mr. Krogstad came to Nora Helmer and asked about a new position of Mrs. Linden in bank. He said that he was hounded out by Torvald and Torvald put Mrs. Linden for Krogstad’s position. Mr. Krogstad was angry because of it, then he reminded Nora about her owing money to him. Mr. Krogstad showed her a paper that she falsified the debt paper. Mr. Krogstad asked her to talk to her husband about him and he wanted his position back, so that he would not show her sin to her husband and publish it. After that all, she thought about it everytime. (page 30-42, act I)
  • Complication : It was more complicated time by time. Nora lied to her husband, she said nobody came, but there was. She asked Torvald not to fire Mr. Krogstad (of course, she did it because she didn’t want her husband know the truth of her from Mr. Krogstad and for saving her family’s name), but Torvald Helmer didn’t care about that, even he talked about bad side of Mr. Krogstad. And also, suddenly Dr. Rank told Nora that he loved her, but Nora didn’t love him. Mr. Krogstad came again and Nora said she did her best to talk to her husband but it didn’t work. Then, she told everything about this to Mrs. Linden. Mrs. Linded tried her best to help her old friend, but the truth was she wanted the truth came to Nora and Torvald for their marriage. (page 42-106, act I, II, III)
  • Climax : Torvald knew the truth from a letter. Then, he was angry to his wife. (page 106-110, act III)
  • Reversal : Torvald forgive his wife because of the second letter from Mr. Krogstad. But Nora realized that her husband never loved her. She realized everything. (page 110-111, act III)
  • Falling Action : after forgiving his wife, Torvald was really happy. He thought his family and he saved. Nora changed her clothes. Torvald thought she wanted to go to bed, but he was wrong. Nora never wanted to go to bed at that night. She wanted to go. Torvald confused and tried to get the answer from his wife. (page 111, act III)
  • Resolution : Nora explained that she was the doll of the house. She was the doll for her father and then for her husband, too. She said she was lived there by performing for her husband. Torvald tried hard to hold Nora and save his family. He reminded her about the children and their marriage. But it didn’t work. Torvald asked her about her love, and Nora answered she didn’t love him. Nora wanted to go. (page 111-123, act III)
  • Denouement : Nora left her family by closing the door hardly. (page 123, act III)
Summary of the story : Nora was someone who spendthrift and loved money so much. She falsified a debt paper for going to Italy with her husband by using her father’s name and signature. Eventhough she was spendthrift, she was a good friend. She helped her friend, Mrs. Linden, for getting a job from Torvald. But someone didn’t like it. Mr. Krogstad was angry because he fired because of Mrs. Linden new’s position. He asked Nora to talk to Torvald or he would tell her husband about her sin and publish it. Nora did the best, but it didn’t work. And finally, Torvald knew it through a letter. He was angry, but at the moment, Nora realized that she was a doll. She left torvald and her children.

2.3 Story Oganization
The beginning : It started when Nora and Torvald were talking about theirself and there also showed us about their characters. And also how could Mr. Krogstad was angry and threatened Nora Helmer. (page 2-39, act : I)
The middle : It happened when Mr. Krogstad threatened Nora and Nora did the best to save her family and her marriage, tried the best to hide her sin. Until Torvald Helmer knew the truth. (page 39-106, act : I, II, III)
The end : finally Torvald knew the truth, but he forgave Nora. But it was too late, Nora realized that she was a doll. She left the house. (page106-123, act : III)

2.4 Conflicts
There were several conflicts in this story :
Person vs Person
  • Nora Helmer – Torvald Helmer
They had conflict in their marriage. Nora lied to her husband and falsified the debt paper, so Torvald was angry to her. But Nora left him at the end.
  1. First Conflict
Nora : Oh ! You back already?
Helmer : Yes. Has nobody been here?
Nora : Here? No.             
Helmer : Curious ! I saw Krogstad come out of the house. (page 43, act : I)
  1. Second Conflict
Torvald Helmer : Oh, what an awful awakening! During all these eight years – she who was my pride and my joy – a hypocrite, a liar – worse, worse – a criminal. Oh! The hideousness of it! Ugh! Ugh! (page 107, act : III)
  • Torvald Helmer – Nils Krogstad
Torvald fired Mr. Krogstad because he wanted to put Mrs. Linden to Mr. Krogstad’s position. And also, Torvald saw him as a bad employee.
Helmer : But Krogstad didn’t do that ; he resorted to tricks and dodges, and it’s that that has corrupted him. (page 46, act : I)
  • Nils Krogstad – Nora Helmer
Nils Krogstad wanted his position back, so he threatened Nora Helmer by showing her debt paper. He would tell her husband about it and also publish it.
Krogstad : Bad or not, if I lay this document before a court of law you will be condemned according to law. (page 41, act : I)
  • Nils Krogstad – Christina Linden
She helped Nora Helmer by talking to Mr. Krogstad. But at the end, she wanted everybody knew the truth for saving Helmers’s marriage. She was in love with Mr. Krogstad at the end.
  1. First Conflict
Mrs. Linden : I must speak to you. (page 86, act : III)
  1. Second Conflict
Mrs. Linden : Was it not best? Since I had to break with you, was it not right that I should try to put an end to your love for me? (page 88, act : III)
  1. Third Conflict
Mrs. Linden : Yes, in my first terror. But a day has passed since then, and in that day I have seen incredible things in this house. Helmer must know everything; there must be an end to this unhappy secret. These two must come to a full understanding. Than can’t possibly go on with all these shifts and concealments. (page 98, act : III)
  • Nora Helmer – Dr. Rank
Dr. Rank told Nora that he loved her, but Nora didn’t love him.
Rank : That I have loved you as deeply as any one else? Was that too bad of me? (page 68, act : II)
Nora : For a great proof of your friendship. (page 67, act : II)
Person vs Self
  • Nora Helmer vs Self
Nora talked to herself about her problem. She confused.
Nora : (stands while thinking, then throws her head back) Never! He wants to frighten me. I’m not so foolish as that. (Begins folding the children’s clothes. Pauses.) But - ? No, It’s impossible. I did it for love ! (page 42, act : I)

2.5 Themes
This story has love, society, family and crime themes.
Love : Nora said she lied because of love. And at the end, Torvald said he loved his wife. (act I and III)
Society : Torvald Helmer was angry when he knew the truth, he was afraid his reputation on social would be bad. And also he afraid what people would think when they know Nora left. (act III)
Family : This story is about Torvald’s family, especially about Nora and him. (act I, II, III)
Crime : Torvald called Nora as a criminal, a liar when he knew the truth. (act III )

2.6 Genres
This story has crime and family genre. It showed us about Nora’s sin and also Nora and Torvald’s family.

2.7 Settings
Place : Torvald family’s house.
Time : morning, afternoon, evening, night.
This story only in Torvald family’s house with his wife, his children, servants, and also visitors. The time was not really showed.

2.8 Moral Value
Spendthrift is a bad thing to have. It caused a problem for Nora Helmer. She owed much money to Krogstad. And it was better if Nora told the truth to her husband. How hard she tried to hide her sin, finally her husband knew the truth. And we think, leaving family is not something good.

2.9  About The Script, Hendrik Ibsen and The Scandals of This Drama
A Doll's House (Norwegian: Et dukkehjem; also translated as A Doll House) is a three-act play in prose by Henrik Ibsen. It premiered at the Royal Theatre in Copenhagen, Denmark, on 21 December 1879, having been published earlier that month. The play is significant for its critical attitude toward 19th century marriage norms. It aroused great controversy at the time, as it concludes with the protagonist, Nora, leaving her husband and children because she wants to discover herself. (en.wikipedia.org)
Henrik Johan Ibsen (/ˈɪbsən/; Norwegian: [ˈhɛnɾɪk ˈɪpsən]; 20 March 1828 – 23 May 1906) was a major 19th-century Norwegian play wright, theatre director, and poet. He is often referred to as "the father of realism" and is one of the founders of Modernism in theatre. His major works include Brand, Peer Gynt, An Enemy of the People, Emperor and Galilean, A Doll's House, Hedda Gabler, Ghosts, The Wild Duck, Rosmersholm, and The Master Builder. He is the most frequently performed dramatist in the world after Shakespeare, and A Doll's House became the world's most performed play by the early 20th century.
When we saw the ending, there was a improriety. A mother should not leave her family, especially her children. But Nora left them. If we looked back to 1879, which is this story created by Hendrik Ibsen, the feminist literary critism was used by authors in that era. We watched the movie through website and there was a difference between the ending with the pure script. In the movie, Nora didn’t left the house at the ending. But in the pure script, Nora left them. If we looked back to 1879 to find the answer, there was a problem called 'barbaric outrage', which made Hendrik Ibsen created the other ending.
CHAPTER 3
FINAL
3.1 Conclusion
This story is about Nora’s life who wanted to fight for herself after hiding her sin for her husband and her family. But it’s only the surface, Hendrik Ibsen wanted to show the feminist side of this story, Nora’s side who finally left her family for getting the answer for herself. This story created by Hendrik Ibsen in 1879. Because of problem and critism, Hendrik Ibsen created the other ending.

3.2 Suggestion
A woman should fight for herself in the right way, but if it’s needed, she should not leave her family.
  
REFERENCES
http://en.wikipedia.org/wiki/Henrik_Ibsen
Klarer, Mario. 2nd Edition. 2004. An Introduction to Literary Studies. New York: Routledge.